BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS

Khamis, 3 Disember 2009

KOLEKSI PUISI-PUISI WS RENDRA

Sajak Gadis Dan Majikan – WS Rendra
Janganlah tuan seenaknya memelukku.
Ke mana arahnya, sudah cukup aku tahu.
Aku bukan ahli ilmu menduga,
tetapi jelas sudah kutahu
pelukan ini apa artinya…..
Siallah pendidikan yang aku terima.
Diajar aku berhitung, mengetik, bahasa asing,
kerapian, dan tatacara,
Tetapi lupa diajarkan :
bila dipeluk majikan dari belakang,
lalu sikapku bagaimana !

Janganlah tuan seenaknya memelukku.
Sedangkan pacarku tak berani selangsung itu.
Apakah tujuan tuan, sudah cukup aku tahu,
Ketika tuan siku teteku,
sudah kutahu apa artinya……

Mereka ajarkan aku membenci dosa
tetapi lupa mereka ajarkan
bagaimana mencari kerja.
Mereka ajarkan aku gaya hidup
yang peralatannya tidak berasal dari lingkungan.
Diajarkan aku membutuhkan
peralatan yang dihasilkan majikan,
dan dikuasai para majikan.
Alat-alat rias, mesin pendingin,
vitamin sintetis, tonikum,
segala macam soda, dan ijazah sekolah.
Pendidikan membuatku terikat
pada pasar mereka, pada modal mereka.

Dan kini, setelah aku dewasa.
Kemana lagi aku ‘kan lari,
bila tidak ke dunia majikan ?

Jangnlah tuan seenaknya memelukku.
Aku bukan cendekiawan
tetapi aku cukup tahu
semua kerja di mejaku
akan ke sana arahnya.
Jangan tuan, jangan !
Jangan seenaknya memelukku.
Ah, Wah .
Uang yang tuan selipkan ke behaku
adalah ijazah pendidikanku
Ah, Ya.
Begitulah.
Dengan yakin tuan memelukku.
Perut tuan yang buncit
menekan perutku.
Mulut tuan yang buruk
mencium mulutku.
Sebagai suatu kewajaran
semuanya tuan lakukan.
Seluruh anggota masyarakat membantu tuan.
Mereka pegang kedua kakiku.
Mereka tarik pahaku mengangkang.
Sementara tuan naik ke atas tubuhku.



NYANYIAN ANGSA
karya W.S Rendra

Majikan rumah pelacuran berkata kepadanya:
“Sudah dua minggu kamu berbaring.
Sakitmu makin menjadi.
Kamu tak lagi hasilkan uang.
Malahan kapadaku kamu berhutang.
Ini beaya melulu.
Aku tak kuat lagi.
Hari ini kamu harus pergi.”

(Malaikat penjaga Firdaus.
Wajahnya tegas dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Maka darahku terus beku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang sengsara.
Kurang cantik dan agak tua).

Jam dua-belas siang hari.
Matahari terik di tengah langit.
Tak ada angin. Tak mega.
Maria Zaitun ke luar rumah pelacuran.
Tanpa koper.
Tak ada lagi miliknya.
Teman-temannya membuang muka.
Sempoyongan ia berjalan.
Badannya demam.
Sipilis membakar tubuhnya.
Penuh borok di klangkang
di leher, di ketiak, dan di susunya.
Matanya merah. Bibirnya kering. Gusinya berdarah.
Sakit jantungnya kambuh pula.
Ia pergi kepada dokter.
Banyak pasien lebih dulu menunggu.
Ia duduk di antara mereka.
Tiba-tiba orang-orang menyingkir dan menutup hidung mereka.
Ia meledak marah
tapi buru-buru jururawat menariknya.
Ia diberi giliran lebih dulu
dan tak ada orang memprotesnya.
“Maria Zaitun,
utangmu sudah banyak padaku,” kata dokter.
“Ya,” jawabnya.
“Sekarang uangmu brapa?”
“Tak ada.”
Dokter geleng kepala dan menyuruhnya telanjang.
Ia kesakitan waktu membuka baju
sebab bajunya lekat di borok ketiaknya.
“Cukup,” kata dokter.
Dan ia tak jadi mriksa.
Lalu ia berbisik kepada jururawat:
“Kasih ia injeksi vitamin C.”
Dengan kaget jururawat berbisik kembali:
“Vitamin C?
Dokter, paling tidak ia perlu Salvarzan.”
“Untuk apa?
Ia tak bisa bayar.
Dan lagi sudah jelas ia hampir mati.
Kenapa mesti dikasih obat mahal
yang diimport dari luar negri?”

(Malaikat penjaga Firdaus.
Wajahnya iri dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Aku gemetar ketakutan.
Hilang rasa. Hilang pikirku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang takut dan celaka.)

Jam satu siang.
Matahari masih dipuncak.
Maria Zaitun berjalan tanpa sepatu.
Dan aspal jalan yang jelek mutunya
lumer di bawah kakinya.
Ia berjalan menuju gereja.
Pintu gereja telah dikunci.
Karna kuatir akan pencuri.
Ia menuju pastoran dan menekan bel pintu.
Koster ke luar dan berkata:
“Kamu mau apa?
Pastor sedang makan siang.
Dan ini bukan jam bicara.”
“Maaf. Saya sakit. Ini perlu.”
Koster meneliti tubuhnya yang kotor dan berbau.
Lalu berkata:
“Asal tinggal di luar, kamu boleh tunggu.
Aku lihat apa pastor mau terima kamu.”
Lalu koster pergi menutup pintu.
Ia menunggu sambil blingsatan dan kepanasan.
Ada satu jam baru pastor datang kepadanya.
Setelah mengorek sisa makanan dari giginya
ia nyalakan crutu, lalu bertanya:
“Kamu perlu apa?”
Bau anggur dari mulutnya.
Selopnya dari kulit buaya.
Maria Zaitun menjawabnya:
“Mau mengaku dosa.”
“Tapi ini bukan jam bicara.
Ini waktu saya untuk berdo’a.”
“Saya mau mati.”
“Kamu sakit?”
“Ya. Saya kena rajasinga.”
Mendengar ini pastor mundur dua tindak.
Mukanya mungkret.
Akhirnya agak keder ia kembali bersuara:
“Apa kamu – mm – kupu-kupu malam?”
“Saya pelacur. Ya.”
“Santo Petrus! Tapi kamu Katolik!”
“Ya.”
“Santo Petrus!”
Tiga detik tanpa suara.
Matahari terus menyala.
Lalu pastor kembali bersuara:
“Kamu telah tergoda dosa.”
“Tidak tergoda. Tapi melulu berdosa.”
“Kamu telah terbujuk setan.”
“Tidak. Saya terdesak kemiskinan.
Dan gagal mencari kerja.”
“Santo Petrus!”
“Santo Petrus! Pater, dengarkan saya.
Saya tak butuh tahu asal usul dosa saya.
Yang nyata hidup saya sudah gagal.
Jiwa saya kalut.
Dan saya mau mati.
Sekarang saya takut sekali.
Saya perlu Tuhan atau apa saja
untuk menemani saya.”
Dan muka pastor menjadi merah padam.
Ia menuding Maria Zaitun.
“Kamu galak seperti macan betina.
Barangkali kamu akan gila.
Tapi tak akan mati.
Kamu tak perlu pastor.
Kamu perlu dokter jiwa.”

(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya sombong dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Aku lesu tak berdaya.
Tak bisa nangis. Tak bisa bersuara.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang lapar dan dahaga.)

Jam tiga siang.
Matahari terus menyala.
Dan angin tetap tak ada.
Maria Zaitun bersijingkat
di atas jalan yang terbakar.
Tiba-tiba ketika nyebrang jalan
ia kepleset kotoran anjing.
Ia tak jatuh
tapi darah keluar dari borok di klangkangnya
dan meleleh ke kakinya.
Seperti sapi tengah melahirkan
ia berjalan sambil mengangkang.
Di dekat pasar ia berhenti.
Pandangnya berkunang-kunang.
Napasnya pendek-pendek. Ia merasa lapar.
Orang-orang pergi menghindar.
Lalu ia berjalan ke belakang satu retoran.
Dari tong sampah ia kumpulkan sisa makanan.
Kemudian ia bungkus hati-hati
dengan daun pisang.
Lalu berjalan menuju ke luar kota.

(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya dingin dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Yang Mulya, dengarkanlah aku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur lemah, gemetar ketakutan.)

Jam empat siang.
Seperti siput ia berjalan.
Bungkusan sisa makanan masih di tangan
belum lagi dimakan.
Keringatnya bercucuran.
Rambutnya jadi tipis.
Mukanya kurus dan hijau
seperti jeruk yang kering.
Lalu jam lima.
Ia sampai di luar kota.
Jalan tak lagi beraspal
tapi debu melulu.
Ia memandang matahari
dan pelan berkata: “Bedebah.”
Sesudah berjalan satu kilo lagi
ia tinggalkan jalan raya
dan berbelok masuk sawah
berjalan di pematang.

(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya tampan dan dengki
dengan pedang yang menyala
mengusirku pergi.
Dan dengan rasa jijik
ia tusukkan pedangnya perkasa
di antara kelangkangku.
Dengarkan, Yang Mulya.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang kalah.
Pelacur terhina).

Jam enam sore.
Maria Zaitun sampai ke kali.
Angin bertiup.
Matahari turun.
Haripun senja.
Dengan lega ia rebah di pinggir kali.
Ia basuh kaki, tangan, dan mukanya.
Lalu ia makan pelan-pelan.
Baru sedikit ia berhenti.
Badannya masih lemas
tapi nafsu makannya tak ada lagi.
Lalu ia minum air kali.

(Malaekat penjaga firdaus
tak kau rasakah bahwa senja telah tiba
angin turun dari gunung
dan hari merebahkan badannya?
Malaekat penjaga firdaus
dengan tegas mengusirku.
Bagai patung ia berdiri.
Dan pedangnya menyala.)

Jam tujuh. Dan malam tiba.
Serangga bersuiran.
Air kali terantuk batu-batu.
Pohon-pohon dan semak-semak di dua tepi kali nampak tenang
dan mengkilat di bawah sinar bulan.
Maria Zaitun tak takut lagi.
Ia teringat masa kanak-kanak dan remajanya.
Mandi di kali dengan ibunya.
Memanjat pohonan.
Dan memancing ikan dengan pacarnya.
Ia tak lagi merasa sepi.
Dan takutnya pergi.
Ia merasa bertemu sobat lama.
Tapi lalu ia pingin lebih jauh cerita tentang hidupnya.
Lantaran itu ia sadar lagi kegagalan hidupnya.
Ia jadi berduka.
Dan mengadu pada sobatnya
sembari menangis tersedu-sedu.
Ini tak baik buat penyakit jantungnya.

(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya dingin dan dengki.
Ia tak mau mendengar jawabku.
Ia tak mau melihat mataku.
Sia-sia mencoba bicara padanya.
Dengan angkuh ia berdiri.
Dan pedangnya menyala.)

Waktu. Bulan. Pohonan. Kali.
Borok. Sipilis. Perempuan.
Bagai kaca
kali memantul cahaya gemilang.
Rumput ilalang berkilatan.
Bulan.

Seorang lelaki datang di seberang kali.
Ia berseru: “Maria Zaitun, engkaukah itu?”
“Ya,” jawab Maria Zaitun keheranan.
Lelaki itu menyeberang kali.
Ia tegap dan elok wajahnya.
Rambutnya ikal dan matanya lebar.
Maria Zaitun berdebar hatinya.
Ia seperti pernah kenal lelaki itu.
Entah di mana.
Yang terang tidak di ranjang.
Itu sayang. Sebab ia suka lelaki seperti dia.
“Jadi kita ketemu di sini,” kata lelaki itu.
Maria Zaitun tak tahu apa jawabnya.
Sedang sementara ia keheranan
lelaki itu membungkuk mencium mulutnya.
Ia merasa seperti minum air kelapa.
Belum pernah ia merasa ciuman seperti itu.
Lalu lelaki itu membuka kutangnya.
Ia tak berdaya dan memang suka.
Ia menyerah.
Dengan mata terpejam
ia merasa berlayar
ke samudra yang belum pernah dikenalnya.
Dan setelah selesai
ia berkata kasmaran:
“Semula kusangka hanya impian
bahwa hal ini bisa kualami.
Semula tak berani kuharapkan
bahwa lelaki tampan seperti kau
bakal lewat dalam hidupku.”
Dengan penuh penghargaan lelaki itu memandang kepadanya.
Lalu tersenyum dengan hormat dan sabar.
“Siapakah namamu?” Maria Zaitun bertanya.
“Mempelai,” jawabnya.
“Lihatlah. Engkau melucu.”
Dan sambil berkata begitu
Maria Zaitun menciumi seluruh tubuh lelaki itu.
Tiba-tiba ia terhenti.
Ia jumpai bekas-bekas luka di tubuh pahlawannya.
Di lambung kiri.
Di dua tapak tangan.
Di dua tapak kaki.
Maria Zaitun pelan berkata:
“Aku tahu siapa kamu.”
Lalu menebak lelaki itu dengan pandang matanya.
Lelaki itu menganggukkan kepala: “Betul. Ya.”

(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya jahat dan dengki
dengan pedang yang menyala
tak bisa apa-apa.
Dengan kaku ia beku.
Tak berani lagi menuding padaku.
Aku tak takut lagi.
Sepi dan duka telah sirna.
Sambil menari kumasuki taman firdaus
dan kumakan apel sepuasku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur dan pengantin adalah saya.)



Sajak Burung-Burung Kondor – WS Rendra
Angin gunung turun merembes ke hutan,
lalu bertiup di atas permukaan kali yang luas,
dan akhirnya berumah di daun-daun tembakau.
Kemudian hatinya pilu
melihat jejak-jejak sedih para petani – buruh
yang terpacak di atas tanah gembur
namun tidak memberi kemakmuran bagi penduduknya.

Para tani – buruh bekerja,
berumah di gubug-gubug tanpa jendela,
menanam bibit di tanah yang subur,
memanen hasil yang berlimpah dan makmur
namun hidup mereka sendiri sengsara.

Mereka memanen untuk tuan tanah
yang mempunyai istana indah.
Keringat mereka menjadi emas
yang diambil oleh cukong-cukong pabrik cerutu di Eropa.
Dan bila mereka menuntut perataan pendapatan,
para ahli ekonomi membetulkan letak dasi,
dan menjawab dengan mengirim kondom.

Penderitaan mengalir
dari parit-parit wajah rakyatku.
Dari pagi sampai sore,
rakyat negeriku bergerak dengan lunglai,
menggapai-gapai,
menoleh ke kiri, menoleh ke kanan,
di dalam usaha tak menentu.
Di hari senja mereka menjadi onggokan sampah,
dan di malam hari mereka terpelanting ke lantai,
dan sukmanya berubah menjadi burung kondor.

Beribu-ribu burung kondor,
berjuta-juta burung kondor,
bergerak menuju ke gunung tinggi,
dan disana mendapat hiburan dari sepi.
Karena hanya sepi
mampu menghisap dendam dan sakit hati.

Burung-burung kondor menjerit.
Di dalam marah menjerit,
bergema di tempat-tempat yang sepi.

Burung-burung kondor menjerit
di batu-batu gunung menjerit
bergema di tempat-tempat yang sepi

Berjuta-juta burung kondor mencakar batu-batu,
mematuki batu-batu, mematuki udara,
dan di kota orang-orang bersiap menembaknya.

WS Rendra

Puisi Terakhir WS Rendra – Tuhan, Aku Cinta Padamu

Aku lemas
Tapi berdaya
Aku tidak sambat rasa sakit
atau gatal

Aku pengin makan tajin
Aku tidak pernah sesak nafas
Tapi tubuhku tidak memuaskan
untuk punya posisi yang ideal dan wajar

Aku pengin membersihkan tubuhku
dari racun kimiawi

Aku ingin kembali pada jalan alam
Aku ingin meningkatkan pengabdian
kepada Allah

Tuhan, aku cinta padamu

Rendra
31 July 2009
Mitra Keluarga


Inilah puisi terakhir Rendra, yang dibuat pada 31 Juli di RS Mitra Keluarga Jakarta.

Sajak Kupanggil Namamu – WS Rendra


Kupanggil Namamu
WS Rendra

Sambil menyeberangi sepi,
Kupanggili namamu, wanitaku
Apakah kau tak mendengar?

Malam yang berkeluh kesah
Memeluk jiwaku yang payah
Yang resah
Karena memberontak terhadap rumah
Memberontak terhadap adat yang latah
dan akhirnya tergoda cakrawala

Sia-sia kucari pancaran matamu
Ingin kuingat lagi bau tubuhmu yang kini sudah kulupa
Sia-sia
Tak ada yang bisa kucamkan
Sempurnalah kesepianku

Angin pemberontakan menyerang langit dan bumi
Dan duabelas ekor serigala
Muncul dari masa silamku
Merobek-robek hatiku yang celaka

Berulangkali kupanggil namamu
Dimanakah engkau wanitaku?
Apakah engkau sudah menjadi masa silamku?

WS Rendra


PUISI DOA ORANG LAPAR – RENDRA

Kelaparan adalah burung gagak
yang licik dan hitam
jutaan burung-burung gagak
bagai awan yang hitam

Allah !
burung gagak menakutkan
dan kelaparan adalah burung gagak
selalu menakutkan
kelaparan adalah pemberontakan
adalah penggerak gaib
dari pisau-pisau pembunuhan
yang diayunkan oleh tangan-tangan orang miskin

Kelaparan adalah batu-batu karang
di bawah wajah laut yang tidur
adalah mata air penipuan
adalah pengkhianatan kehormatan

Seorang pemuda yang gagah akan menangis tersedu
melihat bagaimana tangannya sendiri
meletakkan kehormatannya di tanah
karena kelaparan
kelaparan adalah iblis
kelaparan adalah iblis yang menawarkan kediktatoran

Allah !
kelaparan adalah tangan-tangan hitam
yang memasukkan segenggam tawas
ke dalam perut para miskin

Allah !
kami berlutut
mata kami adalah mata Mu
ini juga mulut Mu
ini juga hati Mu
dan ini juga perut Mu
perut Mu lapar, ya Allah
perut Mu menggenggam tawas
dan pecahan-pecahan gelas kaca

Allah !
betapa indahnya sepiring nasi panas
semangkuk sop dan segelas kopi hitam

Allah !
kelaparan adalah burung gagak
jutaan burung gagak
bagai awan yang hitam
menghalang pandangku
ke sorga Mu

WS Rendra
DARI KUMPULAN PUISI “SAJAK – SAJAK SEPATU TUA” ( PUSTAKA JAYA – 1995 )


PUISI PESAN PENCOPET KEPADA PACARNYA – RENDRA

Sitti,
kini aku makin ngerti keadaanmu
Tak ‘kan lagi aku membujukmu
untuk nikah padaku
dan lari dari lelaki yang miaramu

Nasibmu sudah lumayan
Dari babu dari selir kepala jawatan
Apalagi?
Nikah padaku merusak keberuntungan
Masa depanku terang repot
Sebagai copet nasibku untung-untungan
Ini bukan ngesah
Tapi aku memang bukan bapak yang baik
untuk bayi yang lagi kau kandung

Cintamu padaku tak pernah kusangsikan
Tapi cinta cuma nomor dua
Nomor satu carilah keslametan
Hati kita mesti ikhlas
berjuang untuk masa depan anakmu
Janganlah tangguh-tangguh menipu lelakimu
Kuraslah hartanya
Supaya hidupmu nanti sentosa
Sebagai kepala jawatan lelakimu normal
suka disogok dan suka korupsi
Bila ia ganti kau tipu
itu sudah jamaknya
Maling menipu maling itu biasa
Lagi pula
di masyarakat maling kehormatan cuma gincu
Yang utama kelicinan
Nomor dua keberanian
Nomor tiga keuletan
Nomor empat ketegasan, biarpun dalam berdusta
Inilah ilmu hidup masyarakat maling
Jadi janganlah ragu-ragu
Rakyat kecil tak bisa ngalah melulu

Usahakan selalu menanjak kedudukanmu
Usahakan kenal satu menteri
dan usahakan jadi selirnya
Sambil jadi selir menteri
tetaplah jadi selir lelaki yang lama
Kalau ia menolak kau rangkap
sebagaimana ia telah merangkapmu dengan isterinya
itu berarti ia tak tahu diri
Lalu depak saja dia
Jangan kecil hati lantaran kurang pendidikan
asal kau bernafsu dan susumu tetap baik bentuknya
Ini selalu menarik seorang menteri
Ngomongmu ngawur tak jadi apa
asal bersemangat, tegas, dan penuh keyakinan
Kerna begitulah cermin seorang menteri

Akhirnya aku berharap untuk anakmu nanti
Siang malam jagalah ia
Kemungkinan besar dia lelaki
Ajarlah berkelahi
dan jangan boleh ragu-ragu memukul dari belakang
Jangan boleh menilai orang dari wataknya
Sebab hanya ada dua nilai: kawan atau lawan
Kawan bisa baik sementara
Sedang lawan selamanya jahat nilainya
Ia harus diganyang sampai sirna
Inilah hakikat ilmu selamat
Ajarlah anakmu mencapai kedudukan tinggi
Jangan boleh ia nanti jadi propesor atau guru
itu celaka, uangnya tak ada
Kalau bisa ia nanti jadi polisi atau tentara
supaya tak usah beli beras
kerna dapat dari negara
Dan dengan pakaian seragam
dinas atau tak dinas
haknya selalu utama
Bila ia nanti fasih merayu seperti kamu
dan wataknya licik seperti saya–nah!
Ini kombinasi sempurna
Artinya ia berbakat masuk politik
Siapa tahu ia bakal jadi anggota parlemen
Atau bahkan jadi menteri
Paling tidak hidupnya bakal sukses di Jakarta

Rendra
Dari buku Sajak-Sajak Sepatu Tua, Pustaka Jaya, Jakarta, 1972.


Sajak Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta – W. S. Rendra

Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Dari kelas tinggi dan kelas rendah
Telah diganyang
Telah haru-biru
Mereka kecut
Keder
Terhina dan tersipu-sipu

Sesalkan mana yang mesti kausesalkan
Tapi jangan kau lewat putus asa
Dan kaurelakan dirimu dibikin korban

Wahai pelacur-pelacur kota Jakarta
Sekarang bangkitlah
Sanggul kembali rambutmu
Karena setelah menyesal
Datanglah kini giliranmu
Bukan untuk membela diri melulu
Tapi untuk lancarkan serangan
Karena
Sesalkan mana yang mesti kau sesalkan
Tapi jangan kaurela dibikin korban

Sarinah
Katakan kepada mereka
Bagaimana kau dipanggil ke kantor menteri
Bagaimana ia bicara panjang lebar kepadamu
Tentang perjuangan nusa bangsa
Dan tiba-tiba tanpa ujung pangkal
Ia sebut kau inspirasi revolusi
Sambil ia buka kutangmu

Dan kau Dasima
Khabarkan pada rakyat
Bagaimana para pemimpin revolusi
Secara bergiliran memelukmu
Bicara tentang kemakmuran rakyat dan api revolusi
Sambil celananya basah
Dan tubuhnya lemas
Terkapai disampingmu
Ototnya keburu tak berdaya

Politisi dan pegawai tinggi
Adalah caluk yang rapi
Kongres-kongres dan konferensi
Tak pernah berjalan tanpa kalian
Kalian tak pernah bisa bilang ‘tidak’
Lantaran kelaparan yang menakutkan
Kemiskinan yang mengekang
Dan telah lama sia-sia cari kerja
Ijazah sekolah tanpa guna
Para kepala jawatan
Akan membuka kesempatan
Kalau kau membuka kesempatan
Kalau kau membuka paha
Sedang diluar pemerintahan
Perusahaan-perusahaan macet
Lapangan kerja tak ada
Revolusi para pemimpin
Adalah revolusi dewa-dewa
Mereka berjuang untuk syurga
Dan tidak untuk bumi
Revolusi dewa-dewa
Tak pernah menghasilkan
Lebih banyak lapangan kerja
Bagi rakyatnya
Kalian adalah sebahagian kaum penganggur yang mereka ciptakan
Namun
Sesalkan mana yang kau kausesalkan
Tapi jangan kau lewat putus asa
Dan kau rela dibikin korban
Pelacur-pelacur kota Jakarta
Berhentilah tersipu-sipu
Ketika kubaca di koran
Bagaimana badut-badut mengganyang kalian
Menuduh kalian sumber bencana negara
Aku jadi murka
Kalian adalah temanku
Ini tak bisa dibiarkan
Astaga
Mulut-mulut badut
Mulut-mulut yang latah bahkan seks mereka politikkan

Saudari-saudariku
Membubarkan kalian
Tidak semudah membubarkan partai politik
Mereka harus beri kalian kerja
Mereka harus pulihkan darjat kalian
Mereka harus ikut memikul kesalahan

Saudari-saudariku. Bersatulah
Ambillah galah
Kibarkan kutang-kutangmu dihujungnya
Araklah keliling kota
Sebagai panji yang telah mereka nodai
Kinilah giliranmu menuntut
Katakanlah kepada mereka
Menganjurkan mengganyang pelacuran
Tanpa menganjurkan
Mengahwini para bekas pelacur
Adalah omong kosong

Pelacur-pelacur kota Jakarta
Saudari-saudariku
Jangan melulur keder pada lelaki
Dengan mudah
Kalian bisa telanjangi kaum palsu
Naikkan tarifmu dua kali
Dan mereka akan klabakan
Mogoklah satu bulan
Dan mereka akan puyeng
Lalu mereka akan berzina
Dengan isteri saudaranya.

PUISI DOA DI JAKARTA – WS RENDRA

Tuhan yang Maha Esa,
alangkah tegangnya
melihat hidup yang tergadai,
fikiran yang dipabrikkan,
dan masyarakat yang diternakkan.

Malam rebah dalam udara yang kotor.
Di manakah harapan akan dikaitkan
bila tipu daya telah menjadi seni kehidupan?
Dendam diasah di kolong yang basah
siap untuk terseret dalam gelombang edan.
Perkelahian dalam hidup sehari-hari
telah menjadi kewajaran.
Pepatah dan petitih
tak akan menyelesaikan masalah
bagi hidup yang bosan,
terpenjara, tanpa jendela.

Tuhan yang Maha Faham,
alangkah tak masuk akal
jarak selangkah
yang bererti empat puluh tahun gaji seorang buruh,
yang memisahkan
sebuah halaman bertaman tanaman hias
dengan rumah-rumah tanpa sumur dan W.C.
Hati manusia telah menjadi acuh,
panser yang angkuh,
traktor yang dendam.

Tuhan yang Maha Rahman,
ketika air mata menjadi gombal,
dan kata-kata menjadi lumpur becek,
aku menoleh ke utara dan ke selatan -
di manakah Kamu?
Di manakah tabungan keramik untuk wang logam?
Di manakah catatan belanja harian?
Di manakah peradaban?
Ya, Tuhan yang Maha Hakim,
harapan kosong, optimisme hampa.
Hanya akal sihat dan daya hidup
menjadi peganganku yang nyata.

Ibumu mempunyai hak yang sekiranya kamu mengetahui tentu itu besar sekali
Kebaikanmu yang banyak ini
Sungguh di sisi-Nya masih sedikit
Berapa banyak malam yang ia gunakan mengaduh karena menanggung bebanmu
Dalam pelayanannya ia menanggung rintih dan nafas panjang
Ketika melahirkan andai kamu mengetahui keletihan yang ditanggungnya
Dari balik sumbatan kerongkongannya hatinya terbang
Berapa banyak ia membasuh sakitmu dengan tangannya
Pangkuannya bagimu adalah sebuah ranjang
Sesuatu yang kamu keluhkan selalu ditebusnya dengan dirinya
Dari susunya keluarlah minuman yang sangat enak buatmu
Berapa kali ia lapar dan ia memberikan makanannya kepadamu
Dengan belas kasih dan kasih sayang saat kamu masih kecil
Aneh orang yang berakal tapi masih mengikuti hawa nafsunya
Aneh orang yang buta mata hatinya sementara matanya melihat
Wujudkan cintaimu dengan memberikan doamu yang setulusnya pada ibumu
Karena kamu sangat membutuhkan doanya padamu

WS Rendra

BIOGRAFI - USMAN AWANG ( 1929 - 2001 )


Sudah ditakdirkan Ilahi, Malaysia akan kehilangan dua manusia berjiwa besar Ramadhan ini. Belum sedih hilang oleh kemangkatan almarhum Sultan Salahuddin Abdul Aziz Shah, masyarakat seni tanahair menerima pula berita sedih pemergian Dato Usman Awang, penyair berjiwa rakyat pada 29 November lalu.

Suasana hiba menyelubungi tanah perkuburan Bukit Kiara Taman Tun Dr Ismail di mana bersemadinya dua Sasterawan Negara, Keris Mas dan kini Tongkat Warrant. Penulis-penulis yang kelihatan muncul antara lain Dr Anwar Ridhwan, Sutung Umar RS, Dato A.Samad Said, Dato Baha Zain, Dato Shanmugalinggam dan Profesor Muhammad Haji Salleh.

Saya kira ini suatu catatan kecil tentang Dato Usman Awang. Saya tidak boleh mengakui rapat dengan beliau tetapi pertemuan tiga kali dengan Dato Usman, dua di antaranya untuk program dokumentari Ilham yang ditayangkan di RTM 1 membuatkan saya bangga kerana menjadi semacam wakil dari penulis generasi 90 an yang terpisah dari beliau yang sering uzur.

Di kamar Dato Usman saya lihat terpampang gambar-gambar beliau dengan pemimpin pembangkang seperti Dato Seri Anwar Ibrahim dan Dr Wan Azizah, ketika ini juga Dato Usman memberitahu saya yang beliau tidak sabar menanti antologi puisi Dari Derita Bangsa yang memuatkan puisi terakhir beliau berjudul ‘Saudara Anwar Ibrahim’ diterbitkan (silal ihat artikel saya untuk kakiseni berjudul Tongkat Sakti Yang Berani).

Dato Usman bercakap panjang hari itu. Beliau nampak letih tetapi masih bersemangat untuk bercerita kepada Imri, Tan, Roshihan dan saya sendiri. Antara lain Dato Usman memberitahu yang beliau bukan pengasas ASAS 50 seperti yang pernah ditulis dalam buku-buku ilmiah. “Saya cuma seorang penggerak. Setiausahanya saja.”

Bila ditanya mengapa beliau berhenti menjadi polis dan memilih untuk menjadi penulis lantas berhijrah ke Singapura, Dato Usman menjawab, ‘Sebahagian besar jawapannya sudah saya rakamkan dalam Tulang-tulang Berselerakan (novel tunggal beliau; penulis) tetapi sebab utamanya ialah saya tidak boleh menjadi seorang polis yang memukul dan menembak orang sesuka hati tanpa perikemanusiaan. Jawatan polis adalah jawatan yang tidak serasi dengan saya. Saya lihat ada antara mereka yang menembak petani Cina begitu sahaja dengan alasan kominis dan menerbalikkan barang-barang peniaga kecil di tepi jalan.’

Dato Usman juga kecewa dengan keadaan bahasa Melayu di negara ini. Puluh tahun selepas peristiwa Perarakan Keranda 152 yang diterajui antara lain oleh beliau, penggunaan bahasa Melayu kian merosot dan Dato Usman berkata “Saya menentang prejudis terhadap bahasa Melayu ini. Saya hampa kerana pemimpin negara sendiri yang tidak percaya kepada kemampuan bahasa kebangsaan.”

Dato Usman juga menyatakan rasa kesalnya oleh pengaruh filem Hindustan di tanahair dan kepada generasi muda. “Cucu saya yang kecil juga tahu menyanyi lagu Hindustan seperti Kuch Kuch Hota Hai. Di Singapura dahulu, sudah ada pengaruh begini dan ASAS 50 segera menyatakan sikap kita, tetapi GAPENA nampaknya tidak berbuat apa-apa terhadap kemasukan budaya asing ini.”

Dato Usman juga menyatakan sesuatu yang saya kira agak mengejutkan. “Pemberian anugerah Seniman Negara oleh Perdana Menteri itu sebenarnya satu yang saya tidak tahu (Dr Mahathir dengan kerjasama Kumpulan Utusan pernah memberikan anugerah ini dalam tahun 1999). Jika tahu saya sudah tentu akan mengelak dalam suasana begitu (kala itu isu Shit masih panas dan kebanyakan rakan-rakannya dalam parti oposisi begitu keras mengkritik kerajaan). Saya tidak diberitahu pun apa-apa mengenai kedatangan Dr Mahathir. Saya berasa terpedaya. Tahu-tahu sudah ada gambar diambil dan disiarkan esoknya.”

Bila saya tanya mengapa beliau tidak membuat bantahan kemudiannya, Dato Usman memberitahu, “Biarlah. Memang Harakah ada menghubungi saya untuk mendapatkan cerita sebenar, tapi saya uzur, saya tak mahu memanjangkan cerita, nanti ia berlarutan dan kesihatan saya terus terganggu.”

Dato Usman juga hampa kerana tidak banyak penulis menyatakan sikap dalam hal-hal besar yang menimpa negara. Soal keadilan dipinggirkan dengan begitu hebat “Mesti tulis, mesti tulis perkara yang benar. Jangan diam, biar pun diketepikan orang sekarang tetapi saudara akan mendapat perhatian kemudian. Jangan diam. Susah untuk menjadi penulis dan lebih susah untuk menjadi penulis yang berani. Bagi saya seseorang hanya layak digelar penulis bila sudah berani menyatakan sikap. Kalau tak berani tak payah jadi penulis, beritahu rakan-rakan muda yang lain. Ini nasihat saya.”

Dato Usman nyata gemar bercerita tentang Dato Seri Anwar, “Beliau adalah rakan kepada penulis. Ketika beliau di puncak kuasa, penulis dimartabatkan dengan begitu tinggi. Saya pernah dibayar tiga ribu untuk membaca satu puisi di Kementerian Kewangan. Dia benar-benar menghargai penyair. Susah untuk mendapat pemimpin seperti itu.”

Allahyarham Usman Awang lahir di Kuala Sedili Johor pada 12 Julai 1929. Beliau pernah menjadi petani, budak pejabat, polis, pembaca pruf, dan editor Dewan Sastera (kemuncak dalam karier beliau). Menerima anugerah Sasterawan Negara dalam tahun 1983, SEA Write Award 1982 dan Ijazah Kehormat Doktor Persuratan Universiti Malaya 1983, Usman menghasilkan lebih 200 buah puisi dan drama pentas beliau yang paling dikenang orang tentulah Tamu di Bukit Kenny dan Uda & Dara.

Perbicaraan kami diperhatikan oleh seorang lagi Sasterawan Negara waktu itu, Profesor Muhammad Haji Salleh. Saya bangga kerana Dato Usman membaca karya-karya saya khususnya Cinta Hari-hari Rusuhan. Saya juga berterima kasih kerana Dato Baha Zain mencadangkan supaya satu program dokumentari untuk Usman Awang dilakukan segera. Terlalu banyak yang Dato Usman sebut hari itu tidak sesuai untuk ditayangkan oleh RTM 1 yang dimiliki kerajaan, tetapi kami merakamnya dengan sedar mengetahui ini barangkali luahan hati seorang seniman yang tahu beliau berada di ambang sisa akhir hidupnya.

Berita Perdana RTM 1 malam 29 November menyebut Usman seorang yang cenderung kepada gerakan kiri dalam perjuangan seni dan politik beliau. Persahabatannya dengan Dr Syed Husin Ali, bagaimana pemimpin gerakan pelajar berlindung di rumahnya ketika kecoh Rusuhan Baling, dan antara yang menjadi lagenda ialah himpunan puisi Telok Gong yang beliau kelolakan bagi membela nasib petani dan mengkritik kerajaan Selangor dalam tahun 60 an. Malah ramai yang tahu Usman antara yang di belakang Mogok Utusan bagi membantah campur tangan kuasa dalam media.

Terlalu banyak sudah orang menyebut kehebatan beliau dalam dunia penulisan. Tak cukup kertas dan dakwat untuk dinukilkan kesenimanan beliau ini. Semua orang ada kenangan dengan Dato Usman. Banyak atau sedikit, semuanya penuh bahagia, semuanya manis. Begitulah Usman yang ikhlas dalam dunianya. Maka bersemadilah seorang pembela kemanusiaan yang paling diraikan. Usman rasa saya, adalah Sasterawan Negara yang paling dikenali oleh masyarakat bukan Melayu. Puisi-puisi bertema kemanusiaannya menyeberang batasan etnik, batasan agama, tak tersebut saya kerana banyaknya kerana kayanya…

Biar sahaja sejarah dalam lipatannya akan dibuka dan terus dibuka. Saya ingin menutup belasungkawa ini dengan satu rangkap dari puisi karangan Allahyarham, Gadis di Kuburan:

Lari gadis menyembah ke tanah
diiringi sendu menggoncang bahu
tenang pahlawan dipeluk bumi
senyum terakhir tenang tersembunyi.
Al-Fatihah untuk Allahyarham.

Artikel ini ditulis oleh Faisal Tehrani

Untuk biodata lebih lanjut tentang Usman Awang, sila ke laman rasmi http://www.tongkatwarrant.com/biodata.htm

BIOGRAFI PENYAIR - A. SAMAD SAID


Abdul Samad bin Muhammad Said atau nama penanya A. Samad Said, Hilmy Isa, Isa Dahmuri, Jamil Kelana, Manja, Mesra, dan Shamsir dilahirkan pada 9 April 1935 di Kampung Belimbing Dalam, Durian Tunggal, Melaka. Semasa berumur enam bulan, A. Samad Said dibawa oleh keluarganya ke Singapura. A. Samad Said memperoleh pendidikan formal di Sekolah Melayu Kota Raja hingga lulus darjah IV (1940-1946). Kemudian A. Samad meneruskan pengajiannya dalam kelas petang di Victoria Institution hingga memperolehi sijil Senior Cambridge (1956).

Pengalaman kerjaya A. Samad Said bermula sebagai kerani, pengarang di Utusan Melayu, Berita Harian, Kumpulan The Straits Times, dan ketua pengarang akhbar Warta Teberau. Jawatan terakhir A. Samad Said ialah sebagai ketua pengembangan sastera dalam Kumpulan Akhbar The New Straits Times, Kuala Lumpur. Kini A. Samad Said menjadi penulis sepenuh masa yang aktif berkarya.

Sejak di bangku sekolah lagi minatnya terhadap sastera mula berputik apabila beliau berjinak membaca karya sastera dalam dan luar negera geperti karya Ajip Rosidi, Rendra, Pramoedya, Achdiat, Hamzah dan Wijaya Mala. Beliau juga membaca novel yang ditulis oleh Oliver Twist, Wuthering Height, dan Almayer’s Folly. Beliau juga menggunting dan menyimpan cerpen daripada akhbar tempatan dan mengkajinya sebelum menghasilkan cerpennya sendiri. Kegiatan menterjemah beberapa karya asing juga secaran tidak langsung memperkuatkan minatnya terhadap kesuasteraan

Bermula detik alam persekolahan hingga kini A. Samad Said tida jemu menghasilkan puluhan karya dalam genre novel, puisi, drama, cerpen, dan esei untuk mewarnakan dunia sastera di persada tanah air dan antarabangsa. Antara karya besar yang dihasilkan ialah Salina, Bulan Tak Bermadu di Fatehpur Sikri, Sungai Mengalir Lesu, Di Hadapan Pulau, Langit Petang, Daerah Zeni, Hujan Pagi, Lantai T Pinkie, Wira Bukit, Benih Harapan, Benih Semalu, Daun Semalu Pucuk Paku dan Warkah Eropah, AL-AMIN , Riwayat Hidup Rasululiah s.a.w dalam Puisi (1999) dan kumpulah puisi Suara Dari Dinding Dewan (2003) terbitan Utusan Publication & Distributors Sdn Bhd. Sentuhan karyanya yang terbaharu ialah novel Adik Datang, kumpulan puisi Dirgahayu Dr Mahathir dan kumpulan puisi kanak-kanak Rindu Ibu yang diterbitkan oleh Wira Bukit Sdn Bhd.Beberapa karyanya diadaptasi menjadi teater/drama pentas seperti Salina, Sungai Mengalir Lesu, Lantai T. Pinkie, dan Memori Di Hadapan Pulau

Pencapaian dan sumbangan A. Samad Said dalam memperkayakan dan memertabatkan kesusasteraan Melayu telah mendapat penghargaan kerajaan apabila beliau menerima pelbagai anugerah. Antaranya termasuklah Pejuang Sastera (1976), SEA Write Award (1979), Anugerah Sasterawan Negara (1985), dan Anugerah Sasterawan Nusantara (1999).

Selain pengiktirafan dalam bidang sastera, A.Samad Said juga telah dianugerahkan darjah kebesaran Negeri Melaka yang membawa gelaran Datuk dalam tahun 1997 oleh Yang Dipertua Negeri Melaka. (Dewan Sastera Ogos 2003)

Kerajinannya menghasilkan karya dan ketekunannya membaca karya-karya orang lain menjadi titik penentu A. Samad Said ditabalkan sebagai Sasterawan Negara yang versatil di ujana kesusasteraan tanah air. Dalam karya A. Samad Said, khalayak akan melihat ketelitian dan kecermatannya sebagai pengarang pengarang yang menuangkan nurani seninya. A. Samad Said berpendapat bahawa untuk melahirkan karya, karyawan tidak hanya bergantung pada bahan dan bakat serta kekuatan fikiran sahaja tetapi yang penting ialah pembacaan dan pengalaman yang luas.

Antara Hasil karya:

A Samad Said (Antologi Puisi)
Adik Datang
Bulan Tak Bermadu Di Fatehpur Sikri
Dirgahayu Dr. Mahathir
Dosa Pejuang
Lantai T. Pinkie
Rindu Ibu
Suara Dari Dinding Dewan

BIOGRAFI PENYAIR - JALALUDIN RUMI

Mawlana Jalaludin Rumi

( Grandson of Mawlana Rumi )
“Dia adalah, orang yang tidak mempunyai ketiadaan, Saya mencintainya dan Saya mengaguminya, Saya memilih jalannya dan Saya memalingkan muka ke jalannya. Setiap
orang mempunyai kekasih, dialah kekasih saya, kekasih yang abadi. Dia adalah orang yang Saya cintai, dia begitu indah, oh dia adalah yang paling sempurna. Orang-orang yang mencintainya adalah para pecinta yang tidak pernah sekarat. Dia adalah dia dan dia dan mereka adalah dia. Ini adalah sebuah rahasia, jika kalian mempunyai cinta, kalian akan memahaminya.

( Sulthanul Awliya Mawlana Syaikh Nazhim Adil al-Haqqani – Cucu dari Mawlana Rumi, Lefke, Cyprus Turki, September 1998)

Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi juga seorang tokoh sufi yang berpengaruh di zamannya. Rumi adalah guru nomor satu Thariqat Maulawiah, sebuah thariqat yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah sekitarnya. Thariqat Maulawiah pernah berpengaruh besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan kalangan seniman sekitar tahun l648.

Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewaan akal dan indera dalam menentukan kebenaran. Di zamannya, ummat Islam memang sedang dilanda penyakit itu. Bagi mereka kebenaran baru dianggap benar bila mampu digapai oleh indera dan akal. Segala sesuatu
yang tidak dapat diraba oleh indera dan akal, dengan cepat mereka ingkari dan tidak diakui. Padahal menurut Rumi, justeru pemikiran semacam itulah yang dapat melemahkan Iman kepada sesuatu yang ghaib. Dan kerana pengaruh pemikiran seperti itu pula,
kepercayaan kepada segala hakikat yang tidak kesat mata, yang diajarkan berbagai syariat dan beragam agama samawi, bisa menjadi goyah. Rumi mengatakan, “Orientasi kepada indera dalammenetapkan segala hakekat keagamaan adalah gagasan yang dipelopori kelompok Mu’tazilah. Mereka merupakan para budak yang tunduk patuh kepada panca indera. Mereka menyangka dirinya termasuk Ahlussunnah. Padahal, sesungguhnya Ahlussunnah sama sekali tidak terikat kepada indera-indera, dan tidak mau pula
memanjakannya.”

Bagi Rumi, tidak layak meniadakan sesuatu hanya kerana tidak pernah melihatnya dengan mata kepala atau belum pernah meraba dengan indera. Sesungguhnya, batin akan
selalu tersembunyi di balik yang lahir, seperti faedah penyembuhan yang terkandung dalam obat. “Padahal, yang lahir itu senantiasa menunjukkan adanya sesuatu yang
tersimpan, yang tersembunyi di balik dirinya. Bukankah Anda mengenal obat yang bermanfaat? Bukankah kegunaannya tersembunyi di dalamnya?” tegas Rumi.

PENGARUH TABRIZ
Fariduddin Attar, salah seorang ulama dan tokoh sufi, ketika berjumpa dengan Rumi yang baru berusia 5 tahun pernah meramalkan bahwa si kecil itu kelak akan menjadi tokoh spiritual besar. Sejarah kemudian mencatat, ramalan Fariduddin Attar itu tidak meleset.

Rumi, Lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau 30 September 1207. Mawlana Rumi menyandang nama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi. Adapun panggilan Rumi karena sebagian besar hidupnya dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma).

Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, adalah seorang ulama besar bermadzhab Hanafi. Dan kerana kharisma dan tingginya penguasaan ilmu agamanya, ia digelari Sulthanul Ulama. Namun rupanya gelar itu menimbulkan rasa iri pada sebagian ulama lain. Dan mereka pun melancarkan fitnah dan mengadukan Bahauddin ke penguasa. Celakanya sang penguasa terpengaruh hingga Bahauddin harus meninggalkan Balkh, termasuk keluarganya. Ketika itu Rumi baru berusia lima tahun. Sejak itu Bahauddin bersama keluarganya hidup berpindah- pindah dari suatu negara ke negara lain. Mereka pernah tinggal di Sinabur (Iran timur laut). Dari Sinabur pindah ke Baghdad, Makkah, Malattya(Turki), Laranda (Iran tenggara) dan terakhir menetap di Konya, Turki. Raja Konya Alauddin Kaiqubad, mengangkat ayah Rumi sebagai penasihatnya, dan juga
mengangkatnya sebagai pimpinan sebuah perguruan agama yang didirikan di ibukota tersebut. Di kota ini pula ayah Rumi wafat ketika Rumi berusia 24 tahun. Di samping kepada ayahnya, Rumi juga berguru kepada Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmudzi, sahabat dan pengganti ayahnya memimpin perguruan. Rumi juga menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya itu.

Beliau baru kembali ke Konya pada 634 H, dan ikut mengajar di perguruan tersebut. Setelah Burhanuddin wafat, Rumi menggantikannya sebagai guru di Konya. Dengan pengetahuan agamanya yang luas, di samping sebagai guru, beliau juga menjadi da’i dan ahli hukum Islam. Ketika itu banyak tokoh ulama yang berkumpul di Konya. Tak heran jika Konya kemudian menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul para ulama dari berbagai penjuru dunia.

Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika beliau sudah berumur cukup tua, 48 tahun. Sebelumnya, Rumi adalah seorang ulama yang memimpin sebuah madrasah yang punya murid banyak, 4.000 orang. Sebagaimana seorang ulama, beliau juga memberi fatwa dan tumpuan ummatnya untuk bertanya dan mengadu. Kehidupannya itu berubah seratus delapan puluh derajat ketika beliau berjumpa dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddinalias Syamsi dari kota Tabriz.

Suatu saat, seperti biasanya Rumi mengajar di hadapan khalayak dan banyak yang menanyakan sesuatu kepadanya. Tiba-tiba seorang lelaki asing–yakni Syamsi
Tabriz–ikut bertanya, “Apa yang dimaksud dengan riyadhah dan ilmu?” Mendengar pertanyaan seperti itu Rumi terkesima. Kiranya pertanyaan itu jitu dan tepat
pada sasarannya. Beliau tidak mampu menjawab. Akhirnya Rumi berkenalan dengan Tabriz. Setelah bergaul beberapa saat, beliau mulai kagum kepada Tabriz yang ternyata seorang sufi.

Sultan Salad, putera Rumi, mengomentari perilaku ayahnya itu, “Sesungguhnya, seorang guru besar tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari sang guru besar harus menimba ilmu darinya, meski sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud. Tetapi itulah
kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru besar itu melihat kandungan ilmu yang tiada taranya.” Rumi telah menjadi sufi, berkat pergaulannya dengan Tabriz. Kesedihannya berpisah dan kerinduannya untuk berjumpa lagi dengan gurunya itu telah ikut berperan
mengembangkan emosinya, sehingga beliau menjadi penyair yang sulit ditandingi. Guna mengenang dan menyanjung gurunya itu, beliau tulis syair-syair, yang himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan Syams Tabriz. Beliau bukukan pula wejangan-wejangan gurunya, dan buku itu dikenal dengan nama Maqalat Syams Tabriz.

Rumi kemudian mendapat sahabat dan sumber inspirasi baru, Syaikh Hisamuddin Hasan bin Muhammad. Atas dorongan sahabatnya itu, selama 15 tahun terakhir masa hidupnya beliau berhasil menghasilkan himpunan syair yang besar dan mengagumkan yang diberi nama Masnavi.

Buku ini terdiri dari enam jilid dan berisi 20.700 bait syair. Dalam karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran tasawuf yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk
apologi, fabel, legenda, anekdot, dan lain-lain. Bahkan Masnavi sering disebut Qur’an Persia. Karya tulisnya yang lain adalah Ruba’iyyat (sajak empat baris dengan jumlah 1600 bait), Fiihi Maa fiihi (dalam bentuk prosa; merupakan himpunan ceramahnya tentang metafisika), dan Maktubat (himpunan surat-suratnya kepada sahabat atau pengikutnya).

Bersama Syaikh Hisamuddin pula, Rumi mengembangkan Thariqat Maulawiyah atau Jalaliyah. Thariqat ini di Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (para
Darwisy yang berputar-putar). Nama itu muncul kerana para penganut thariqat ini melakukan tarian berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan suling, dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase.

WAFATNYA MAWLANA RUMI
Semua manusia tentu akan kembali kepada-Nya. Demikianlah yang terjadi pada Rumi. Penduduk Konya tiba-tiba dilanda kecemasan, karena mendengar kabar bahwa tokoh panutan mereka, Rumi, tengah menderita sakit keras. Meskipun demikian, pikiran Rumi masih menampakkan kejernihannya.

Seorang sahabatnya datang menjenguk dan mendo’akan, “Semoga Allah berkenan memberi ketenangan kepadamu dengan kesembuhan.” Rumi sempat menyahut, “Jika engkau beriman dan bersikap manis, kematian itu akan bermakna baik. Tapi kematian ada juga yang kafir dan pahit.”

Pada tanggal 5 Jumadil Akhir 672 H atau 17 Desember 1273 dalam usia 68 tahun Rumi dipanggil ke Rahmatullah. Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan, penduduk setempat berdesak-desakan ingin mengantarkan kepulangannya. Malam wafatnya beliau dikenal sebagai Sebul Arus (Malam Penyatuan). Sampai sekarang para
pengikut Thariqat Maulawiyah masih memperingati tanggal itu sebagai hari wafatnya beliau.

“SAMA”, Tarian Darwis yang Berputar Suatu saat Rumi tengah tenggelam dalam kemabukannya dalam tarian “Sama” ketika itu seorang sahabatnya memainkan biola dan ney (seruling), beliau mengatakan, “Seperti juga ketika salat kita berbicara dengan
Tuhan, maka dalam keadaan extase para darwis juga berdialog dengan Tuhannya melalui cinta. Musik Sama yang merupakan bagian salawat atas baginda Nabi Sallallahu alaihi wasalam adalah merupakan wujud muzik cinta demi cinta Nabi saw dan pengetahuanNya.

Rumi mengatakan bahwa ada sebuah rahasia tersembunyi dalam Musik dan Sama, dimana musik merupakan gerbang menuju keabadian dan Sama adalah seperti electron yang
mengelilingi intinya bertawaf menuju sang Maha Pencipta. Semasa Rumi hidup tarian “Sama” sering dilakukan secara spontan disertai jamuan makanan dan minuman. Rumi bersama teman darwisnya selepas solat Isa sering melakukan tarian sama dijalan-jalan kota.

Terdapat beberapa puisi dalam Matsnawi yang memuji Sama dan perasaan harmonis alami yang muncul dari tarian suci ini. Dalam bab ketiga Matsnawi, Rumi menuliskan puisi tentang kefanaan dalam Sama, “ketika gendang ditabuh seketika itu perasaan extase merasuk bagai buih-buih yang meleleh dari debur ombak laut”.

Tarian Sakral Sama dari tariqah Mevlevi Haqqani atau Tariqah Mawlawiyah ini masih dilakukan saat ini di Lefke, Cyprus Turki dibawah bimbingan Mawlana Syaikh Nazim Adil al-Haqqani. Ajaran Sufi Mawlana Syaikh Nazim dan mawlana Syaikh Hisyam juga merambah keberbagai kota di Amerika maupun Eropa, sehingga tarian Whirling Dervishes ini juga dilakukan di banyak kota-kota di Amerika, Eropa dan Asia di bawah bimbingan Mawlana Syaikh Hisyam Kabbani ar-Rabbani.

Tarian Sama ini sebagai tiruan dari keteraturan alam raya yang diungkap melalui perputaran planet-planet. Perayaan Sama dari tariqah Mevlevi dilakukan dalam situasi yang sangat sakral dan ditata dalam penataan khusus pada abad ke tujuh belas. Perayaan ini untuk menghormati wafatnya Rumi, suatu peristiwa yang Rumi dambakan dan ia lukisakna dalam istilah-istilah yang menyenangkan.

Para Anggota Tariqah Mevlevi sekarang belajar menarikan tarian ini dengan bimbingan Mursyidnya. Tarian ini dalam bentuknya sekarang dimulai dengan seorang peniup suling yang memainkan Ney, seruling kayu. Para penari masuk mengenakan pakaian putih yang
sebagai simbol kain kafan, dan jubah hitam besar sebagai symbol alam kubur dan topi panjang merah atau abu-abu yang menandakan batu nisan.

Akhirnya seorang Syaikh masuk paling akhir dan menghormat para Darwish lainnya. Mereka kemudian balas menghormati. Ketika Syaikh duduk dialas karpet merah menyala yang menyimbolkan matahari senja merah tua yang mengacu pada keindahan langit senja sewaktu Rumi wafat. Syaikh mulai bersalawat untuk Rasulullah saw yang ditulis oleh Rumi disertai iringan musik, gendang, marawis dan seruling ney.

Peniup seruling dan penabuh gendang memulai muziknya maka para darwis memulai dengan tiga putaran secara perlahan yang merupakaan simbolisasi bagi tiga tahapan yang membawa manusia menemui Tuhannya. Pada puatran ketiga Syaikh kembali duduk dan para penari melepas jubah hitamnya dengan gerakan yang menyimbulkan kuburan untuk mengalami ‘ mati sebelum mati”, kelahiran kedua.

Ketika Syaikh mengijinkan para penari menari, mereka mulai dengan gerakan perlahan memutar seperti putaran tawaf dan putaran planet-planet mengelilingi matahari.
Ketika tarian hamper usai maka syaikh berdiri dan alunan musik dipercepat. Proses ini diakhiri dengan muzik penutup danpembacaan ayat suci Al-Quran. Rombongan Penari Darwis, secara teratur menampilkan Sama di auditorium umum di Eropa dan Amerika Serikat.

Sekalipun beberapa gerakan tarian ini pelan dan terasa lambat tetapi para pemirsa mengatakan penampilan ini sangat magis dan menawan. Kedalaman konsentrasi, atau
perasaan dzawq dan ketulusan para darwis menjadikan gerakan mereka begitu menghipnotis. Pada akhir penampilan para hadirin diminta untuk tidak bertepuk
tangan karena “Sama” adalah sebuah ritual spiritual bukan sebuah pertunjukan seni.

Pada abad ke 17, Tariqah Mevlevi atau Mawlawiyah dikendalikan oleh kerajaan Utsmaniyah. Meskipun Tariqah Mawlawiyah kehilangan sebagian besar kebebasannya ketika berada dibawah dominasi Ustmaniyah, tetapi perlindungan Sang Raja menungkinkan
Tariqah Mawlawi menyebar luas keberbagai daerah dan memperkenalkan kepada banyak orang tentang tatanan muzik dan tradisi puisi yang unik dan indah. Pada Abad ke 18, Salim III seorang Sultan Utsmaniyah menjadi anggota Tariqah Mawlawiyah dan kemudian dia menciptakan musik untuk upacara-upacara Mawlawi.

Selama abad ke 19 , Mawlawiyah merupakan salah satu dari sekitar Sembilan belas aliran sufi di Turtki dan sekitar tigapuluh lima kelompok semacam itu dikerajaan
Utsmaniyah. Kerana perlindungan dari raja mereka, Mawlawi menjadi kelompok yang paling berpengarh diseluruh kerajaan dan prestasi cultural mereka dianggap sangat murni. Kelompok itu menjadi terkenal di barat., Di Eropa dan Amerika pertunjukkan keliling mereka menyita perhatian public. Selama abad 19, sebuah panggung pertunjukkan yang didirikan di Turkimenarik perhatian banyak kelompok wisatawan Eropa yang datang ke Turki.

Pada tahun 1925, Tariqah Mawlawi dipaksa membubarkan diri ditanah kelahiran mereka Turki, setelah Kemal Ataturk pendiri modernisasi Turki melarang semua
kelompok darwis lengkap dengan upacara serta pertunjukkan mereka. Pada saat itu makam Rumi di Konya diambil alih pemerintah dan diubah menjadi museum Negara.

Motivasi utama Atatutrk adalah memutuskan hubungan Turki dengan masa pertengahan guna mengintegrasikan Turki dengan dunia modern seperti demokrasi ala barat. Bagi Ataturk tariqah sufi menjadi ancaman bagi modernisasi Turki. Pada saat itulah Syaikh Nazim mulai menyebarkan bimbingan spiritual dan mengajar agama Islam di Siprus, Turki.

Mawlana Syaikh Nazim Adil al-Haqqani
Banyak murid yang mendatangi Mawlana Syaikh Nazim dan menerima Thariqat Naqsybandi Haqqani. Selain itu beliau adalah pemegang otoritas Mursyid tujuh Tariqah Sufi besar lainnya, termasuk Mevlevi Haqqani atau Mawlawiyah, Qodiriah, Syadziliyah, Chisty.

Namun sayang, waktu itu semua agama dilarang di Turki dan kerana beliau berada di dalam komunitas orang-orang Turki di Siprus, agama pun dilarang di sana. Bahkan
mengumandangkan azan pun tak diperbolehkan.

Langkah Syaikh Nazim yang pertama ketika itu adalah menuju masjid di tempat kelahirannya dan mengumandangkan azan di sana, segera beliau dimasukkan penjara selama seminggu. Begitu dibebaskan, Syaikh Nazim Ù‚ pergi menuju masjid besar di Nikosia dan melakukan azan di menaranya. Hal itu membuat para pejabat marah dan beliau dituntut atas pelanggaran hukum.

Sambil menunggu sidang, Syaikh Nazim Ù‚ terus mengumandangkan azan di menara-menara masjid di seluruh Nikosia. Sehingga tuntutannya pun terus bertambah, ada 114 kasus yang menunggu beliau.

Pengacara menasihati beliau agar berhenti melakukan azan, namun Syaikh Nazim Ù‚ mengatakan, “ Tidak, aku tidak bisa mengehntikannya. Orang-orang harus
mendengar panggilan azan untuk solat.” Ketika hari persidangan tiba, Mawlana Syaikh Nazim didakwa atas 114 kasus mngumandangkan azan diseluruh Cyprus. Jika tuntutan 114 kasus itu terbukti, maka beliau bisa dihukum 100 tahun penjara. Tetapi pada hari yang sama hasil pemilu diumumkan di Turki.

Seorang laki-laki bernama Adnan Menderes dicalonkan untuk berkuasa. Langkah pertamanya ketika terpilih menjadi Presiden adalah membuka seluruh masjid-masjid
dan mengizinkan azan dikumandangkan dalam bahasa Arab. Inilah keajaiban yang diberikan Allah swt kepada Mawlana Syaikh Nazim.

Hingga saat ini makam Rumi di Konya tetap terpelihara dan dikelola oleh pemerintah Turki sebagai tempat wisata. Meskipun demikian pengunjung yang datang kesana yang terbanyak adalah para peziarah dan bukan wisatawan. Melalui sebuah kesepakatan pemerintah Turki, pada tahun 1953 akhirnya menyetujui tarian “Sama” Tariqah Mawlawi dipeertontonkan lagi di Konyadengan syarat pertunjukan tersebut bersifat cultural
untuk para wisatawan.

Rombongan Darwis juga diijinkan untuk berkelana secara Internasional. Meskipun demikian secara keseluruhan berbagai aspek sufisme tetap menjadi praktek yang illegal di Turki dan para sufi banyak diburu sejak Ataturk melarang agama mereka.

Wa min Allah at Tawfiq
Maulana Jalaluddin Rumi, Menari di Depan Tuhan “AKAN tiba saatnya, ketika Konya menjadi semarak, dan makam kita tegak di jantung kota. Gelombang demi gelombang khalayak menjenguk mousoleum kita, menggemakan ucapan-ucapan kita.” Itulah ucapan Jalaluddin Rumi pada putranya, Sultan Walad, di suatu pagi. Dan waktu kemudian berlayar, melintasi tahun dan abad. Konya seakan terlelap dalam debu sejarah. “Tetapi, kota Anatolia Tengah ini tetap berdiri sebagai saksi kebenaran ucapan Rumi,” tulis Talat Said Halman, peneliti karya-karya mistik Rumi.

Kenyataannya memang demikian. Lebih dari 7 abad, Rumi bak bayangan yang abadi mengawal Konya, terutama untuk pada pengikutnya, the whirling dervishes, para darwis
yang menari. Setiap tahun, dari tanggal 2-17 Desember, jutaan peziarah menyemut menuju Konya. Dari delapan penjuru angin mereka berarak untuk memperingati kematian Rumi, 727 tahun silam.

Siapakah sesungguhnya makhluk ini, yang telah menegakkan sebuah pilar di tengah khazanah keagamaan Islam dan silang sengketa paham? “Dialah penyair mistik terbesar sepanjang zaman,” kata orientalis Inggris Reynold A Nicholson. “Ia bukan nabi, tetapi ia mampu menulis kitab suci,” seru Jami, penyair Persia Klasik, tentang karya Rumi,Matsnawi.

Gandhi pernah mengutip kata-katanya. Rembrandt mengabadikannya dikanvas, Muhammad Iqbal, filsuf dan penyair Pakistan, sekali waktu pernah berdendang, “Maulana mengubah tanah menjadi madu…. Aku mabuk oleh anggurnya; aku hidup dari napasnya.”

Bahkan, Paus Yohanes XXIII, pada 1958 menuliskan pesan khusus:
“Atas nama dunia Katolik, saya menundukkan kepala penuh hormat mengenang Rumi.”
Besar dalam kembara Jalaluddin dilahirkan 30 September 1207 di Balkh, kini
wilayah Afganistan. Ia Putra Bahauddin Walad, ulama dan mistikus termasyhur, yang diusir dari kota Balkh tatkala ia berumur 12 tahun. Pengusiran itu buntut perbezaan pendapat antara Sultan dan Walad.

Keluarga ini kemudian tinggal di Aleppo (Damaskus), dan di situ kebeliaan Jalaluddin diisi oleh guru-guru bahasa Arab yang tersohor. Tak lama di Damakus, keluarga ini pindah ke Laranda, kota di Anatolia Tengah, atas permintaan Sultan Seljuk Alauddin
Kaykobad.

Konon, Kaykobad membujuk dalam sebuah surat kepada Walad, “Kendati saya tak pernah menundukkan kepala kepada seorang pun, saya siap menjadi pelayan dan pengikut setia Anda.” Di kota ini ibu Jalaluddin, Mu’min Khatum, meninggal dunia. Tak lama kemudian,
dalam usia 18 tahun, Jalaluddin menikah. 1226, putra pertama Jalaluddin, Sultan Walad, lahir. Setahun kemudian, keluarga ini pindah ke Konya, 100 Km dari Laranda. Di sini, Bahauddin Walad mengajar di madrasah. 1229, anak kedua Jalaluddin, Alauddin,
lahir. Dua tahun kemudian, dalam usia 82 tahun, Bahaudin Walad meninggal dunia.

Era baru pun dialami Jalaluddin. Dia menggantikan Walad, dan mengajarkan ilmu-ilmu ketuhanan tradisional, tanpa menyentuh mistik. Setahun setelah kematian ayahnya, suatu pagi, madrasahnya kedatangan tamu, Burhannuddin Muhaqiq, yang ternyata murid
terkasih Walad. Dan ketika menyadari sang guru telah tiada, Muhaqiq mewariskan ilmunya pada Jalaluddin.

Burhanuddin pun menggembleng muridnya dengan latihan tasawuf yang telah dimatangkan selama 4 abad terakhir oleh para sufi, dan beberapa kali meminta dia ke Damakus untuk menambah lmu. 8 tahun menggembleng, 1240, Burhanuddin kembali ke Kayseri. Jalaluddin Rumi pun menggembleng diri sendiri.

Cinta adalah menari Tahun 1244, saat berusia 37 tahun, Jalaluddin sudah berada di atas semua ulama di Konya. Ilmu yang dia timba dari kitab-kitab Persia, Arab, Turki, Yunani dan Ibrani, membuat dia nyaris ensiklopedis. Gelar Maulana Rumi (Guru bangsa Rum) pun dia raih. Tapi, di sebuah senja Oktober, sehabis pulang dari madrasah,
seseorang yang tak dia kenal, menjegat langkahnya, dan menanyakan satu hal. Mendengar pertanyaan itu, Rumi langsung pingsan!

Sebuah riwayat mengatakan, orang tak dikenal itu bertanya, “Siapa yang lebih agung, Muhammad Rasulullah yang berdoa, ‘Kami tak mengenal-Mu seperti seharusnya’ atau seorang sufi Persia, Bayazid Bisthami yang berkata, ‘Subhani, mahasuci diriku, betapa agungnya kekuasaanku’. Pertanyaan mistikus Syamsuddin Tabriz itu mengubah hidup Rumi. Dia kemudian tak lagi terpisahkan dari Syams. Dan di bawah pengaruh Syams, ia menjalani periode mistik yang nyala, penuh gairah, tanpa batas, dan kini, mulai menyukai muzik. Mereka menghabiskan hari bersama-sama, dan menurut riwayat,
selama berbulan-bulan mereka dapat bertahan hidup tanpa kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, khusuk menuju Cinta Ilahiah.

Tapi hal ini tak lama. Kecemburuan warga Konya,membuat Syams pergi. Dan saat Syams kembali, warga membunuhnya. Rumi kehilangan, kehilangan terbesar yang dia gambarkan seperti kehidupan kehilangan mentari. Tapi, suatu pagi, seorang pandai besi membuat
Jalaluddin menari. Pukulan penempa besi itu, Shalahuddin, membuat dia ekstase, dan tanpa sadar mengucapkan puisi-puisi mistis, yang berisi ketakjuban pada pengalaman syatahat. Rumi pun kemudian bersabahat dengan Shalahuddin, yang kemudian menggantikan posisi Syams. Dan era menari pun dimulai Rumi, menari sambil memadahkan syair-syair cinta Ilahi. “Tarian para darwis itulah yang kemudian menjadi semacam bentuk ratapan Rumi atas kehilangan Syams,” jelas Talat.
Sampai meninggalnya, 17 Desember 1273, Rumi tak pernah berhenti menari, kerana dia tak pernah berhenti mencintai Allah. Tarian itu juga yang membuat peringkatnya dalam inisiasi sufi berubah dari yang mencintai jadi yang dicintai. (Aulia A Muhammad)

~ SUARA MERDEKA

BIOGRAFI PENYAIR - RAJA ALI HAJI

Raja Ali Haji pujangga Melayu termasyhur

MENGENAI Raja Ali Haji sudah cukup banyak ditulis. Tulisan ulama ini yang dimuatkan dalam artikel ini merupakan petikan dan penambahan saja dari buku penulis yang berjudul Perkembangan Fiqh dan Tokoh-Tokohnya di Asia Tenggara, jilid 1. Penulis memulakan kisah ulama ini dengan kalimat berikut, “Ulama yang bermazhab Syafie (pengikut akidah Ahli Sunah wal Jamaah Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan pengamal Tarekat Naqsyabandiyah dalam sufiah, yang berasal dari Riau ini) lain pula kepopularannya.

“Beliau lebih banyak mengarang di bidang ilmiah-ilmiah lain dari pengetahuan fiqh dan hukum-hukum keislaman, sehingga namanya sangat terkenal dalam bidang bahasa dan kesusasteraan Indonesia dan Malaysia”. Karangan mengenai bahasa Melayu menyerlahkan namanya menjadi tersohor bagi dalam masyarakat Melayu sendiri mahu pun pengkaji-pengkaji bahasa dari kalangan kaum penjajah terutama sarjana yang berasal dari Belanda.

Nama lengkap beliau ialah Tengku Haji Ali al-Haj bin Tengku Haji Ahmad bin Raja Haji Asy-Syahidu fi Sabillah bin Upu Daeng Celak, yang lebih masyhur dengan sebutan Raja Ali Haji saja.

Beliau dilahirkan di Pulau Penyengat Indera Sakti yang ketika itu menjadi pusat pemerintahan Riau-Lingga-Johor dan Pahang. Raja Ali Haji dilahirkan oleh ibunya, Hamidah binti Panglima Malik, Selangor, tahun lahirnya tercatat pada 1809. Raja Ali Haji mempunyai beberapa orang saudara, semuanya ada 16 orang. Mereka ialah:
* Raja Abdul Majid * Raja Abdul Wadud
* Raja Haji Umar/Tengku Endut * Raja Haji Ali
* Raja Abdullah (Amir Karimun) * Raja Usman
* Raja Abdul Hamid * Raja Muhammad Sa’id
* Raja Kecik * Raja Shaliha
* Raja Fatimah * Raja Aisyah
* Raja Shafiyah * Raja Maimunah
* Raja Hawi * Raja Maryam

Beberapa orang adik-beradik Raja Ali Haji yang tersebut di atas, mahupun keturunan-keturunan mereka yang berperanan dalam masyarakat Melayu akan diceritakan lebih lanjut dalam siri-siri yang berikutnya.

Sambungan petikan daripada karangan penulis sendiri dalam buku, Perkembangan Fiqh dan Tokoh-Tokohnya di Asia Tenggara, jilid 1, “Kira-kira tahun 1822 sewaktu ia masih kecil, ia pernah dibawa oleh orang tuanya ke Betawi/Jakarta. Ketika itu orang tuanya, Raja Haji Ahmad, menjadi utusan Riau untuk menjumpai Gabenor Jeneral Baron van der Capellen. Berulang-ulang kali Raja Haji Ahmad menjadi utusan (kerajaan Riau) ke Jawa itu, waktu yang berguna itu telah dimanfaatkan oleh puteranya Raja Ali untuk menemui banyak ulama, untuk memperdalam pengetahuan Islamnya, terutama ilmu fiqh. (Di antara ulama Betawi yang sering dikunjunginya ialah Saiyid Abdur Rahman al-Mashri. Kepada ulama ini Raja Ali Haji sempat belajar Ilmu Falak)”.

Selain dapat memperdalam ilmu keislaman, Raja Ali Haji juga banyak mendapat pengalaman dan pengetahuan hasil pergaulan dengan sarjana-sarjana kebudayaan Belanda seperti T. Roode dan Van Der Waal yang kemudian menjadi sahabatnya. Kira-kira tahun 1827/1243H Raja Ahmad pergi ke Mekah al-Musyarrafah, puteranya Raja Ali Haji ikut serta.

Raja Ahmad dan Raja Ali Hajilah di antara anak Raja Riau yang pertama menunaikan ibadah haji itu. Raja Ali Haji tinggal dan belajar di Mekah untuk suatu masa yang agak lama. Semasa di Mekah Raja Ali Haji sempat bergaul dengan Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani. Dalam beberapa bidang keislaman dan ilmu bahasa Arab Raja Ali Haji sempat belajar dengan Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani yang ketika itu adalah sebagai seorang besar (sebagai Ketua Syeikh Haji dan sangat berpengaruh) di kalangan masyarakat Melayu di Mekah.

Ia bersahabat dengan salah seorang anak Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari iaitu Syeikh Syihabuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari. Barangkali ketika itu pulalah Raja Ali Haji sempat mempelawa ulama yang berasal dari Banjar itu supaya bersedia pergi ke Riau, menurut rencananya jika mendapat persetujuan akan dijadikan Mufti di kerajaan Riau. Dalam perjalanannya ke Mekah itu, Raja Haji Ahmad dan puteranya Raja Ali Haji pula mengambil kesempatan berkunjung ke Kaherah (Mesir), setelah itu kembali ke negerinya Pulau Penyengat, Riau.

Di kerajaan Riau-Johor pada zaman dulu memang ramai ulama pendatang di antaranya Habib Syaikh keturuan as-Saqaf, Syeikh Ahmad Jabarti, Syeikh Ismail bin Abdullah al-Minkabawi, Syeikh Abdul Ghafur bin Abbas al-Manduri dan ramai lagi. Apatah lagi saudara sepupu Raja Ali Haji yang bernama Raja Ali bin Raja Ja’far menjadi Yamtuan Muda Kerajaan Riau VIII (tahun 1845-1857) menggantikan saudaranya Raja Abdur Rahman bin Raja Haji Yamtuan Muda Kerajaan Riau VII (taun 1833-1845). Apabila Raja Ali Haji pulang dari Mekah beliau disuruh oleh saudara sepupunya itu mengajar agama Islam, (Raja Ali bin Raja Ja’far juga ikut belajar kepada Raja Ali Haji).

Agak lama juga Raja Ali Haji terjun ke dunia pendidikan. Dikatakan bahawa beliau telah mengajar Ilmu Nahu, Ilmu Sharaf, Ilmu Usuluddin, Ilmu Fiqh, Ilmu Tasauf dan lain-lain. Raja Ali Haji memang berkemampuan tentang berbagai-bagai ilmu pengetahuan Islam, bahkan beliau memang seorang ulama besar pada zamannya.

Ramai murid Raja Ali Haji yang menjadi tokoh terkemuka sesudahnya, di antaranya Raja Haji Abdullah yang kemudian menjadi Yamtuan Muda Riau IX, tahun 1857-1858, Saiyid Syaikh bin Ahmad al-Hadi.

Dalam ilmu syariat, Raja Ali Haji berpegang teguh dengan Mazhab Syafie, dalam iktikad berpegang akan faham Syeikh Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi, sedang dalam amalan tasauf beliau adalah seorang penganut Tarekat Naqsyabandiyah dan mengamalkan Selawat Dalail al-Khairat yang dibangsakan kepada Saiyid Sulaiman al-Jazuli, yang diamalkan secara beruntun sejak datuk-datuknya terutama Raja Haji as-Syahidu fi Sabilillah yang ketika akan meninggalnya masih tetap memegang kitab selawat tersebut di tangannya, sementara pedang terhunus di tangannya yang satu lagi.

Sambungan petikan Perkembangan Fiqh dan Tokoh-Tokohnya di Asia Tenggara, jilid 1, “Nama kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang bertambah masyhur dengan kemunculan Raja Ali Haji dengan pelbagai karangannya yang bercorak sejarah yang banyak dibicarakan oleh ahli bahasa dan sastera di Nusantara (Indonesia dan Malaysia), bahkan menjadi perhatian yang serius oleh orientalis Barat”.

Riau dikatakan sebagai pusat kebudayaan Melayu dan pusat perkembangan ilmu pengetahuan keislaman yang tiada tolok bandingnya di kala itu. Raja Ali Haji sebagai tokoh sejarah, ahli bahasa/sastera Melayu dan yang terkenal dengan “Gurindam Dua Belasnya” banyak dibicarakan orang. Akan tetapi belum begitu popular bahawa beliau adalah seorang ulama besar Islam (dunia Melayu). Tentang penulisan Ilmu Fiqh, Tauhid dan Tasauf Raja Ali Haji bukanlah seorang penulis yang produktif seperti gurunya Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani.

Walau bagaimanapun diakui ada karya Raja Ali Haji ke arah itu di antaranya Jauharatul Maknunah.

Syair Sultan Abdul Muluk pernah diterbitkan oleh Roorda van Eysinga dalam Tijdshrift voor Nederlandsch-India, IX, 4, 1847M, dan diterbitkan di Batavia 1958 M.

Sambungan petikan Perkembangan Fiqh dan Tokoh-Tokohnya di Asia Tenggara, jilid 1, “Tentang karya-karya Raja Ali Haji yang tersebut di atas, penjelasan satu persatu adalah sebagai yang berikut, Gurindam Dua Belas banyak dibicarakan dalam pelajaran sastera. Drs. Zuber Usman dalam bukunya, Kesusasteraan Lama Indonesia, beliau menyalin beberapa untaian gurindam itu. Di antara gurindam fasal kesebelasnya.
Dinamakan Gurindam Dua Belas ialah kerana terdiri dari dua belas fasal. Yang terkandung dalam Gurindam Dua Belas ialah perkara yang menyangkut ibadat individu, kewajipan-kewajipan para raja dan sifat-sifat masyarakat, kewajipan orang tua kepada anak dan sebaliknya kewajipan anak kepada orang tua, dan lain-lain.

Sutan Takdir Ali Syahbana memuat Gurindam Dua Belas dalam bukunya Puisi Lama, tahun 1969 diterbitkan lagi dengan suatu pembicaraan Drs.Shaleh Saidi tentang gurindam itu. Penerbitannya diusahakan oleh Direktorat Bahasa dan Kesusasteraan, Singaraja. Gurindam Dua Belas pernah dikumpulkan oleh Elisa Netscher dan diajarkan dalam Tijdshrift voor Indische Taal, Land en Volkenkunde No. 2, tahun 1853 dengan judul De Twaalf Spreukgedichten.

Bustanul Katibin, ditulis tahun 1267H/1850M, diterbitkan dengan huruf batu (litografi) di Pulau Penyengat Riau. Kandungannya membicarakan penulisan bahasa Melayu, tatabahasa Melayu yang disesuaikan dengan tatabahasa (nahu dan sharaf) dalam bahasa Arab. Bustanul Katibin terdiri dari 31 pasal, tebalnya hanya 70 halaman.

Kitab Pengetahuan Bahasa, ditulis tahun 1275 H/1858M, menggunakan nama pengarang pada halaman depan cetakan Al-‘Alim Al-Fadhil Al-Marhum Raja Ali Haji ibni Al-Marhum Raja Haji Ahmad ibni Al-Marhum Yang Di Pertuan Muda Raja Haji Asy-Syahid fi Sabilillah Ta’ala … , terbitan pertama, penggal yang pertama Matba’ah Al-Ahmadiah, 82, Jalan Sultan, Singapura, 10 Rejab 1348 H/11 Disember 1929.

Terbitan kedua telah penulis atau Khazanah Fathaniyah, Kuala Lumpur, usahakan tahun 1417 H/1996 dengan lampiran Sejarah Ringkas Matba’ah Al-Ahmadiah Singapura dan Raja Haji Umar bin Raja Hasan (Cucu Raja Ali Haji)]. Kitab tersebut adalah kamus bahasa Melayu yang lebih menekankan loghat Melayu Johor, Pahang dan Riau-Lingga. Cetakan pertama setebal 466 halaman, cetakan kedua 483 halaman dengan pendahuluan setebal 32 halaman.

Kitab ini tidak sempat selesai, hanya sampai pada huruf (Ca) saja.
Tsamratul Muhimmah, judul lengkap Tsamratul Muhimmah Dhiyafatu lil Umara’ wal Kubara’ li Ahlil Mahkamah. Diselesaikan pada hari Selasa, pukul 2, pada 10 Syaaban 1275H/1858M. Tempat diterbitkan ada dinyatakan pada halaman depan Office Cap Gubernement Lingga, 1304 H. Di halaman belakang dinyatakan ‘Tercap di Lingga An Street Printing Office, Muharam 1304H/1886M. Diterbitkan lagi oleh Khazanah Fathaniyah, Kuala Lumpur, 1420H/1999M (cetakan yang kedua), nombor siri 28 dengan ukuran 20.4 x 13.5 cm, setebal 79 halaman. Kitab tersebut adalah pedoman untuk raja-raja, hakim, menteri serta pembesar-pembesar lain dalam sesuatu kerajaan atau pemerintahan.

Salasilah Melayu dan Bugis (No. 6), ditulis pada 15 Rabiulakhir 1282H/1865M. Naskhah asalnya adalah dari Saiyid Syarif Abdur Rahman bin Saiyid Qasim, Sultan Pontianak, bin Syarif Abdur Rahman al-Qadri, bahawa naskhah itu telah ditulis oleh Haji Abdullah anak Khairuddin peranakan Juanah pada tahun 1282H atau 1865M.
Diterbitkan buat pertama kalinya (Matba’ah Al-Imam), Singapura, tahun 1329H/1911 M, kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggeris tahun 1926 dan dimuat dalam JMBRAS. Pada 1956 diterbitkan di Johor atas perintah Mayor Jenderal Sir Sultan Ibrahim, Sultan Johor ketika itu, dicetak di Pejabat Cetak Kerajaan Johor oleh Markum bin Haji Muhammad Said.

Kitab Salasilah Melayu dan Bugis yang ditulis dengan huruf Melayu/Jawi atau huruf Arab dalam bahasa Melayu/Indonesia itu pernah dirumi/latinkan oleh Sasterawan Negara, Arena Wati tahun 1972, diterbitkan oleh Pustaka Antara, Kuala Lumpur (Malaysia) dalam tahun 1973.

Kandungan Salasilah Melayu dan Bugis ialah menceritakan asal usul keturunan Bugis di Luwu’ Sulawesi, kemudian kejayaan di dalam pengembaraannya di bahagian Barat Nusantara setelah menghadapi pelbagai tentangan dan peperangan yang sangat hebat dan secara berentetan. Mereka dapat berkuasa di Riau, Selangor, Mempawah, dan tempat-tempat lainnya. Salasilah Melayu dan Bugis adalah sangat penting untuk menyusun sejarah Riau, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan dan Malaysia.

Menyusul kitab Tuhfatun Nafis ditulis pada 3 Syaaban 1282H/1865M. Kitab Tuhfatun Nafis dapat dikatakan sebagai kelanjutan dari Salasilah Melayu dan Bugis. Kitab Tuhfatun Nafis adalah yang paling terkenal daripada semua karangan Raja Ali Haji. Kandungannya dimulakan dengan menjelaskan sejarah Singapura, Melaka dan Johor yang kemudian dilanjutkan tentang Riau dikalahkan oleh Belanda. Secara terperinci menguraikan kejadian-kejadian bersejarah mulai tahun 1677M hingga ke tahun disusunnya kitab itu (1282H/1865M).

Dipaparkan dengan hebat kisah datuknya Raja Haji putera Upu Daeng Celak sehingga beliau mangkat menemui syahidnya di Teluk Ketapan, Melaka. Kitab Tuhfatun Nafis pernah diterbitkan oleh R. O. Winstedt dalam tahun 1932, dimuat dalam JMBRAS, dalam tahun 1965 oleh Malaysia Publication di Singapura dengan edisi tulisan Rumi/Latin, dan Tuhfat Al-Nafis Sejarah Melayu-Islam merupakan transliterasi oleh Virginia Matheson Hooker diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka tahun 1991.

Bagaimanapun, ada sarjana yang berpendapat kitab Tuhfatun Nafis bukan karangan Raja Ali Haji tetapi karangan ayahnya Raja Haji Ahmad yang terkenal itu.

Muqaddimah fi Intizham, judul lengkapnya ialah Muqaddimah fi Intizhamil Wazhaifil Muluki Khushusan ila Maulana wa Shahibina wa Akhina Yang Di Pertuan Muda Raja Ali al-Mudabbir lil Biladir Riyauwiyah wa Sairi Dairatihi, menurut Hasan Junus, ialah sebuah risalah tipis berisikan tiga buah wazifah untuk dijadikan pegangan oleh seorang pemegang kendali dan kemudi negeri ketika mengangkat rencana hukum sebelum menjatuhkan hukuman.

Seterusnya Syair Hukum Nikah atau Syair Kitab an-Nikah atau Syair Suluh Pegawai. Mengenai judulnya, Abu Hassan Sham menyebut, “Nama syair ini tidak pernah tercatat sebelum ini, tetapi ini bukan bermakna syair ini tidak disedari oleh sarjana-sarjana Barat. Mereka mengetahui syair ini dengan nama yang lain iaitu Syair Hukum Nikah atau Syair Kitab an-Nikah”.

Syair Sinar Gemala Mustika Alam, syair ini pernah diterbitkan oleh Matba’ah ar-Riyauwiyah Pulau Penyengat, tahun 1311H/1893M].

Jauharatul Maknunah, dinamakan juga Siti Shiyanah Shahibul Futuwah wal Amanah ditulis dalam bentuk syair. Kandungannya mengenai pelajaran fiqh, atau pelajaran agama Islam, yang digubah dalam bentuk puisi.

Jauharatul Maknunah diterbitkan oleh Matba’ah Al-Ahmadiah, 50 Minto Road, Singapura, pada 7 Muharam 1342H. Jauharatul Maknunah ditashih oleh Raja Haji Abdullah bin Raja Haji Hasan Riau, diterbitkan atas usaha Raja Haji Ali bin Raja Haji Muhammad Riau, Mudir Matba’ah Al-Ahmadiah yang ada hubungan keturunan kekeluargaan dekat dengan pengarangnya, Raja Ali Haji.

KETURUNAN
Putera/puteri Raja Ali Haji ada 17 orang iaitu:
1. Raja Haji Hasan
2. Raja Mala’
3. Raja Abdur Rahman
4. Raja Abdul Majid
5. Raja Salamah
6. Raja Kaltsum
7. Raja Ibrahim Kerumung
8. Raja Hamidah
9. Raja Engku Awan ibu Raja Kaluk
10. Raja Khadijah
12. Raja Cik
13. Raja Muhammad Daeng Menambon
14. Raja Aminah
15. Raja Haji Salman Engku Bih
16. Raja Siah
17. Raja Engku Amdah

Raja Haji Hasan (No. 1) memperoleh 12 orang anak yang terkenal sebagai ulama dan tokoh ialah;
1. Raja Haji Abdullah Hakim
2. Raja Khalid Hitam, meninggal dunia di Jepun
3. Raja Haji Abdul Muthallib
4. Raja Mariyah
5. Raja Manshur
6. Raja Qamariyah
7. Raja Haji Umar
8. Raja Haji Andi
9. Raja Abdur Rasyid
10. Raja Kaltsum
11. Raja Rahah
12. Raja Amimah

Senarai karangan Raja Ali Haji yang telah diketahui adalah seperti yang berikut
* Syair Sultan ‘Abdul Muluk, hari Rabu, 8 Rejab 1262H/1846M
* Gurindam Dua Belas, tahun 1846M
* (Bustanul Katibin lis Shibyanil Muta’allim), tahun 1267 H/1850M
* Kitab Pengetahuan Bahasa, tahun 1275 H/1858M
* (Tsamaratul Muhimmah), diselesaikan hari Selasa, pukul 2, pada 10 Syaaban 1275H/1858M
* Salasilah Melayu dan Bugis, 15 Rabiulakhir 1282H/1865M
* (Tuhfatun Nafis), 3 Syaaban 1282 H/1865M
* (Muqaddimah fi Intizham)
* Syair Hukum Nikah atau Syair Kitab an-Nikah atau Syair Suluh Pegawai
* Syair Sinar Gemala Mustika Alam
* (Jauharatul Maknunah), dinamakan juga Siti Shiyanah Shahibul Futuwah wal Amanah

- Koleksi tulisan Allahyarham Wan Mohd. Shaghir Abdullah

BIOGRAFI PENYAIR - W.S RENDRA


Nama Pena:
WS Rendra

Nama Asal:
Willibrordus Surendra Broto Rendra

Nama Setelah Memeluk Islam:Wahyu Sulaiman Rendra

Memeluk Islam : 12 Ogos 1970

Seniman ini mengucapkan dua kalimat syahadah pada hari perkahwinannya dengan Sitoresmi pada 12 Ogos 1970, dengan disaksikan dua lagi tokoh sastera Taufiq Ismail dan Ajip Rosidi.

Gelaran: Si Burung Merak

Julukan si Burung Merak bermula ketika Rendra dan sahabatnya dari Australia berlibur di Kebun Binatang Gembiraloka, Yogyakarta. Di kandang merak, Rendra melihat seekor merak jantan berbuntut indah dikerubungi merak-merak betina. “Seperti itulah saya,” tutur Rendra spontan. Kala itu Rendra memiliki dua isteri, iaitu Ken Zuraida dan Sitoresmi.

Tempat Lahir: Solo, Jawa Tengah.

Tarikh Lahir: 7 November 1935.

Tarikh Meninggal Dunia : Khamis, 6 Ogos 2009 pukul 22.10 WIB di RS Mitra Keluarga, Depok.

Dimakamkan selepas solat Jumaat 7 Ogos 2009 di TPU Bengkel Teater Rendra, Cipayung, Citayam, Depok.

Agama:
Islam

Isteri:
- Sunarti Suwandi (Nikah 31 Mac 1959 dikurniakan lima anak: Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Klara Sinta. Cerai 1981)
- Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat (Nikah 12 Ogos 1970, dikurniakan empat anak: Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati. Cerai 1979)
- Ken Zuraida (dikurniakan dua anak: Isaias Sadewa dan Maryam Supraba).

Pendidikan:
- SMA St. Josef, Solo
- Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
- American Academy of Dramatical Art, New York, USA (1967)

Sebahagian Karya-Karya Rendra:
Drama
Orang-orang di Tikungan Jalan (1954)
Bip Bop Rambaterata (Teater Mini Kata)
SEKDA (1977)
Selamatan Anak Cucu Sulaiman
Mastodon dan Burung Kondor (1972)
Hamlet (terjemahan karya William Shakespeare)
Macbeth (terjemahan karya William Shakespeare)
Oedipus Sang Raja (terjemahan karya Sophokles)
Lisistrata (terjemahan)
Odipus di Kolonus (terjemahan karya Sophokles),
Antigone (terjemahan karya Sophokles),
Kasidah Barzanji
Perang Troya Tidak Akan Meletus (terjemahan karya Jean Giraudoux) Panembahan Reso (1986)
Kisah Perjuangan Suku Naga

Puisi
Balada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan sajak)
Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta
Blues untuk Bonnie
Empat Kumpulan Sajak
Jangan Takut Ibu
Mencari Bapak
Nyanyian Angsa
Pamphleten van een Dichter
Perjuangan Suku Naga
Pesan Pencopet kepada Pacarnya
Potret Pembangunan Dalam Puisi
Rendra: Ballads and Blues Poem (terjemahan)
Rick dari Corona
Rumpun Alang-alang
Sajak Potret Keluarga
Sajak Rajawali
Sajak Seonggok Jagung
Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api
State of Emergency
Surat Cinta
Pranala luar

Kegiatan Lain:
Anggota Persilatan PGB Bangau Putih

Penghargaan:
Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Yogyakarta (1954)
Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956)
Hadiah Puisi dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (1957)
Anugerah Seni dari Departemen P & K (1969)
Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970)
Hadiah Seni dari Akademi Jakarta (1975)
Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976)
Penghargaan Adam Malik (1989)
The S.E.A. Write Award (1996)
Penghargaan Achmad Bakri (2006).

Biodata:
WS Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya adalah penari serimpi di keraton Surakarta. Masa kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya itu. Rendra dilahirkan di Solo, 7 November 1935.

Beliau mendapat pendidikan di Jurusan Sastera Barat Fakultas Sastra UGM (tidak tamat), kemudian memperdalam pengetahuan mengenai drama dan teater di American Academy of Dramatical Arts, Amerika Syarikat (1964-1967).

Sekembali dari Amerika, beliau mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada 1967 dan sekaligus menjadi pemimpinnya. Pada perkembangannya, Bengkel Teater dipindahkan oleh Rendra ke Depok.

Tahun 1971 dan 1979 dia membacakan sajak-sajaknya di Festival Penyair International di Rotterdam. Pada tahun 1985 beliau mengikuti Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman. Kumpulan puisinya; Ballada Orang-orang Tercinta (1956), 4 Kumpulan Sajak (1961), Blues Untuk Bonnie (1971), Sajak-sajak Sepatu Tua (1972), Potret Pembangunan dalam Puisi (1980), Disebabkan Oleh Angin (1993), Orang-orang Rangkasbitung (1993) dan Perjalanan Aminah (1997).

Puisi Terakhir WS Rendra
Aku lemas
Tapi berdaya
Aku tidak sambat rasa sakit
atau gatal
Aku pengin makan tajin
Aku tidak pernah sesak nafas
Tapi tubuhku tidak memuaskan
untuk punya posisi yang ideal dan wajar
Aku pengin membersihkan tubuhku
dari racun kimiawi
Aku ingin kembali pada jalan alam
Aku ingin meningkatkan pengabdian
kepada Allah
Tuhan, aku cinta padamu

~ Allahyarham Rendra menulis puisi ini saat ia terbaring di rumah sakit Mitra Keluarga, Depok, 31 Julai lalu.

Pemergian Rendra
Penyair ternama WS Rendra atau lebih terkenal dengan panggilan ‘Burung Merak’ meninggal dunia pada usia 74 tahun di Hospital Mitra Keluarga, Depok, Jawa Barat, pukul 10 malam Khamis 6 Ogos 2009.

Penyair dan pelakon drama yang nama penuhnya Wahyu Sulaiman Rendra meninggalkan 11 orang anak hasil daripada tiga pernikahannya.

Rendra terkenal dengan sajak-sajaknya yang penuh dengan sindiran dan kritikan cukup mahir memainkan emosi penonton ketika melakukan persembahan.

Beliau yang lebih akrab dipanggil Willy mencurahkan sebahagian besar hidupnya terhadap dunia sastera dan teater. Menggubah serta mendeklamasi puisi, menulis skrip serta berlakon drama merupakan kemahirannya yang tidak ada bandingan.

Hasil seni dan sastera yang digarap cukup dikenali oleh peminat seni tempatan mahupun dari luar negara.

Allahyarham bukanlah penyair biasa. Sajak dan puisinya padat dengan nada protes. Jadi tidak hairanlah Kerajaan Indonesia pernah mengharamkan karya beliau daripada dipersembahkan pada tahun 1978.

Tidak hanya sajak dan puisi yang sering menyebabkan rasa tidak puas hati kerajaan, bahkan dramanya yang terkenal berjudul SEKDA dan Mastodon dan Burung Kondor juga menjadi sasaran.

Di samping karya berbau protes, sasterawan kelahiran Solo, 7 November 1935 ini juga sering menulis karya sastera yang menyuarakan kehidupan kelas bawahan seperti puisinya yang berjudul Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta dan puisi Pesan Pencopet Kepada Pacarnya.

Beliau mengasah bakat di dalam bidang tersebut sejak menuntut di Fakulti Sastera dan Kebudayaan Universiti Gajah Mada. Pada ketika itu cerpennya disiarkan di majalah seperti Mimbar Indonesia, Basis, Budaya Jaya dan Siasat.

Dia juga menimba ilmu di American Academy of Dramatical Art, New York, Amerika Syarikat. Sekembalinya dari Amerika pada tahun 1967, jejaka yang tinggi lampai dan berambut panjang itu menubuhkan bengkel teater di Yogyakarta.

Tidak lama bengkel teater tersebut dipindahkan ke Citayam, Cipayung, Depok, Jawa Barat. Oleh kerana karya-karyanya yang begitu gemilang, Rendra beberapa kali pernah tampil dalam acara bertaraf antarabangsa. Sajaknya yang berjudul Mencari Bapak, pernah dibacakannya dalam acara Peringatan Hari Ulang Tahun ke-118 Mahatma Gandhi pada 2 Oktober 1987, di depan para undangan The Gandhi Memorial International School Jakarta.

Beliau juga pernah ikut serta dalam acara penutupan Festival Ampel Antarabangsa 2004 yang berlangsung di halaman Masjid Al Akbar, Surabaya, Jawa Timur, 22 Julai 2004.

Meskipun sudah terkenal, ternyata masih banyak keinginan WS Rendra yang belum dipenuhi dan semua dirakamkan dalam sebuah puisi yang dibuatnya beberapa hari sebelum Si Burung Merak tersebut menghembuskan nafasnya yang terakhir.

“Dia meninggalkan satu puisi, puisi itu menyebutkan bahawa masih banyak keinginannya tetapi dia tidak mampu. Jadi semangat masih ada tapi dia tidak mampu mengatasi situasi dirinya yang semakin lemah,” kata salah seorang sahabat Rendra, sasterawan Jose Rizal Manua.

Puisi itu dibuat Rendra tiga atau empat hari lalu ketika masih dirawat di hospital dan puisi tersebut disampaikan oleh salah seorang anak perempuan Rendra.

Dari segi perkahwinan – isteri pertama Rendra, Sunarti terlebih dahulu meninggalkannya. Daripada perkahwinan dengan Sunarti, Rendra dikurniakan lima orang anak iaitu Tedy, Andre, Clarasinta, Daniel Seta dan Samuel.

Sementara isteri keduanya bernama Sitoresmi. Rendra memiliki empat orang anak hasil perkahwinan itu dan mereka ialah Yonas, Sara, Naomi dan Rachel. Namun Sitoresmi dan Rendra akhirnya bercerai. Ken Zuraida adalah wanita terakhir yang dinikahi Rendra dan memperolehi dua orang anak iaitu Isayasa Sadewa dan Mariam.

Kini dunia seni kehilangan sosok Rendra, tetapi Si Burung Merak itu akan terus menjadi inspirasi kepada generasi muda pencinta seni.

Rabu, 2 Disember 2009

USMAN AWANG PERMATA MELAYU YANG SUKAR DIGANTI

USMAN Awang. Nama ini tidak hanya sebahagian daripada khazanah keilmuan Melayu. Tetapi ia juga merupakan permata intelektual yang dimiliki oleh masyarakat pelbagai kaum di negara ini.

Dalam sejarah kepengarangannya, Allahyarham berkarya bukan hanya di atas nama kaum Melayu semata-mata tetapi juga merentas sempadan etnik dan sistem kepercayaan – atas nama kemanusiaan serta kesejagatan.

Persoalan besar yang sentiasa diutarakan olehnya ialah bagaimana pengarang menjadi lidah masyarakat dalam menyuarakan hak, rasa, pandangan dan kepentingan mereka kepada kelompok yang berkuasa.

Bagaimanapun, Allahyarham tidak meletakkan ‘perjuangan’ masyarakat bawahan dalam wacana konflik. Sebaliknya ia disampaikan melalui ketajaman pena dan kehalusan kata.

Sebagai pembaca, kita jangan mengharapkan pemikiran Allahyarham diterapkan dalam karya-karya berbau penentangan dan kekerasan. Sebaliknya, keadilan dituntut melalui kejernihan akal rasional.

Sesekali bila membaca karya-karya Allahyarham sama ada genre puisi, novel mahupun drama pentas, ia akan mengingatkan kita pada Justice is Conflict, karya Stuart Hampshire.

Dalam erti kata, sama seperti Hampshire, Usman berpandangan bahawa kejernihan akal rasional dalam memperjuangkan keadilan adalah cara terbaik untuk mencapai matlamat.

Oleh itu, karya-karya Allahyarham setia mendukung semangat persahabatan sebagaimana jiwa kemelayuan itu sendiri. Menikam dalam kelembutan kata-kata dan kepetahan bermain bahasa.

Seperti yang diungkapkan oleh penulis, Zaen Kasturi, Allahyarham merupakan permata intelektual Melayu yang lahir atas semangat kesedaran untuk memperjuangkan masa depan dan jati diri bangsanya.

“Kata-kata dalam puisinya adalah lambang Melayu sejati yang cinta akan akarnya. Keterpesonaannya tertancap kukuh pada alam yang melahir, membesar dan mendewasakannya.

“Jiwa puisinya adalah jiwa Melayu tulen. Cintanya tidak mengenal batas. Daripada nelayan dan buruh kasar sehinggalah Melayu yang menduduki kepimpinan tertinggi, dia menegur menerusi kata-kata lembut dan menusuk,” katanya.

Zaen berpendapat, membaca karya Allahyarham, terutama puisi-puisinya, kita tidak berasa marah atau terhina akan tegurannya itu.

Malahan seharusnya berterima kasih kerana dia memberikan kita rasa untuk berfikir bahawa kita harus menjadi Melayu yang kenal peribadi sendiri.

Oleh hal yang demikian itu, karya-karya Allahyarham akan tetap subur sebagai khazanah bangsa yang begitu berharga. Memang Allahyarham adalah sebutir permata di dalam kesusasteraan tanah air yang sukar dicari ganti.

Hari ini, setelah enam tahun pemergiannya, perjuangan dan idealismenya dalam memartabatkan bahasa, kesusasteraan dan kemanusiaan sentiasa hidup dan mekar mewangi.

Pensyarah Akademi Pengajian Melayu, Universiti Malaya (UM), Prof. Madya Dr. Mohamad Mokhtar Abu Hassan berkata, ‘kekuatan’ utama Allahyarham ialah unsur kritikan sosial dalam karya-karyanya.

Allahyarham dalam beberapa karyanya melontarkan kritikan terhadap kepincangan-kepincangan dalam birokrasi serta terhadap segelintir pemimpin yang tidak jujur.

Namun, teguran tersebut dilontarkan dalam kerangka pemikiran Melayu yang sentiasa berlapik dan bersopan. Kehalusan kata sentiasa menjadi keutamaan kepada Allahyarham.

“Semangat untuk membela nasib orang Melayu dalam karya-karya Allahyarham cukup kuat. Ia ditulis dalam bahasa yang mudah tetapi memadai untuk menyedarkan semua pihak.

“Inilah kelebihan yang ada pada beliau. Dengan bahasa yang mudah, ringkas tetapi padat, karya-karyanya mampu menegur banyak pihak secara halus serta berlapik,” katanya.

Di sisi lain, Mohamad Mokhtar berpendapat karya-karya Usman membuktikan Allahyarham berfikiran jauh dalam melihat pelbagai isu khususnya berkaitan dengan masa depan orang Melayu.

Kebanyakan isu yang diutarakan tidak hanya menggambarkan situasi semasa. Sebaliknya juga idealisme untuk memajukan orang Melayu pada masa depan.

“Pandangan-pandangan seperti ini tidak banyak ditemukan dalam penulis-penulis Melayu yang sezaman dengan Allahyarham. Apa yang diutarakan adalah isu semalam, hari ini dan masa depan.

“Saya rasa ini kekuatan utama dalam karya-karya Allahyarham. Ia membuktikan Usman seorang pengarang yang berpandangan luas meskipun tidak mempunyai pendidikan tinggi,” tambahnya.

Pandangan-pandangan Zaen dan Mohamad Mokhtar sebenarnya hanyalah contoh kecil daripada segudang jasa Allahyarham dalam memartabatkan bahasa, sastera dan masa depan orang Melayu sendiri.

Bagaimanapun, berapa ramai barangkali antara penyanjung, peminat dan pengagum Usman yang terus mengingati makna sebenar 29 November dalam erti kata `pergi sebutir permata keilmuan Melayu?’

Usman tidak hanya sekadar pengkarya besar yang pernah dilahirkan oleh sebuah negara bernama Malaysia tetapi juga seorang pemikir agung yang merentasi zamannya.

Ketika meletus peristiwa permogokan Utusan Melayu pada Oktober 1961, Allahyarham dan teman-teman seperjuangan menunjukkan harga diri yang tinggi demi masa depan bahasa dan orang Melayu.

Di Angkatan Sasterawan 50 (Asas 50), suara Allahyarham begitu lantang memperjuangkan maruah bahasa Melayu. Begitu juga ketika Peristiwa Keranda 152. Peranannya telah membangkitkan kesedaran kepada banyak pihak supaya tidak memperlekehkan bahasa kebangsaan itu.

Ketika kampus universiti di negara ini bergolak, Allahyarham turut meletakkan dirinya dalam peristiwa berkenaan. Beliau menunjukkan keprihatinan sebagai seorang manusia yang hidup dan sedar kepada persekitarannya.

Kesimpulan ringkas, pengkaryaan dan perjuangan Allahyarham sentiasa dekat dengan dunia nyata, dan di mana perlu menyatakan pendirian melalui tulisan yang beralas tetapi tetap mengesankan.

Kini sudah beberapa tahun Allahyarham meninggalkan kita. Namun, ketajaman pena dan kehalusan bahasa beliau tidak pernah mengikuti jasadnya. Ia terus subur, sesubur jasanya yang ditabur demi kelangsungan bangsa Melayu dan negara Malaysia.

BIODATA DHARMAWIJAYA

Tokoh penyair negara, Kamaruzzaman A. Kadir atau lebih dikenali dengan nama pena Dharmawijaya meninggal dunia di Hospital Seremban pada April 2005 akibat kanser paru-paru.

Allahyarham yang berasal dari Kampung Talang, Tanjung Ipoh, Kuala Pilah meninggalkan seorang isteri, Zaini Ma’aya, tiga orang anak iaitu Susilawati, Asrul Effendi dan Iza Hairani.

Jenazah Allahyarham dikebumikan di Makam Haji Said.

Allahyarham yang memiliki ijazah Sarjana Sastera dari Universiti Malaya pada tahun 1981 pernah menjadi guru bahasa dan kesusasteraan Melayu di sekolah menengah; pembantu penyelidik di Dewan Bahasa dan Pustaka (1971-1972) dan; pensyarah (1981-1986) dan Profesor Madya (1987-1994) di Jabatan Pengajian Melayu, Universiti Malaya.

Allahyarham bertugas di Fakulti Bahasa Moden dan Komunikasi, UPM sebagai Sarjana Tamu sejak tahun 1996 sehingga meninggal dunia.
Selain seorang penyair, Allahyarham juga adalah seorang penulis esei dan kritik sastera terutama puisi.

Allahyarham pernah memenangi hadiah sastera Malaysia pada tahun 1971, 1976 serta 1982/83 dalam bahagian puisi.

Allahyarham menerima anugerah penulis Asia Tenggara (SEA Write Award) di Bangkok, Thailand pada tahun 1993, anugerah penyair GAPENA pada tahun 1999 dan anugerah pujangga, Universiti Pendidikan Sultan Idris (UPSI) pada tahun 2002.

Beberapa buah buku kajian Allahyarham mengenai puisi yang telah diterbitkan ialah Nasionalisme dalam Puisi Melayu Moden 1933-1957 (1982) yang turut memenangi Hadiah Sastera Malaysia 1982/83 dalam bahagian buku kajian sastera moden terbaik; Tanggapan dan Kaedah Pengajaran Puisi (1987); Berkenalan Puisi (1987), Pemahaman dan Penghayatan Puisi (1992) serta Dunia Puisi Dalam Penelitian dan Pengajaran (1992) dan edisi yang sama dikemaskini pada 1998.

Turut diterbitkan ialah tiga buah kumpulan pusi persendiriannya iaitu Warna Maya (1974), Derita Buana (1992) dan Jejak Kembara (1999).

Di samping itu, Allayharham adalah penyusun antologi puisi Di Penjuru Matamu (1975) dan Bunga Gerimis (1986) yang pernah menjadi buku teks Kesusateraan Melayu di sekolah-sekolah menengah; Lagu Kehidupan (1983), Bintang Mengerdip (1984), Puisi Sepanjang Zaman (1989) dan Gurindam Alam (1994) yang menjadi rujukan umum dan di institusi-institusi pengajian tinggi.